Sebelumnya: Rumah Berbisik: 6. Pintu Rahasia
Keesokan harinya, anak-anak itu bertemu kembali tepat pukul 10:00 di tempat aman mereka di samping sungai. Suara gemericik air bercampur dengan kicauan burung pagi. Sinar matahari menembus dedaunan, menciptakan bayangan berbintik-bintik di tanah. Udara segar, dengan aroma bunga liar dan tanah lembap yang samar. Anak laki-laki kini menerima kedua anak perempuan itu ke dalam kelompok mereka tanpa pertanyaan apa pun.
Gita sangat ingin berbagi apa yang telah ditemukannya malam sebelumnya. "Aku masih belum membuka surat tersegel yang kita temukan," katanya sambil mengangkat amplop yang belum dibuka agar yang lain bisa melihatnya. Kemudian, ia mengalihkan fokusnya ke benda lain di tangannya. "Tapi lihatlah kertas terpisah yang kutemukan bersamanya. Sepertinya seseorang menggambar peta!" serunya sambil membuka dan mengulurkan peta yang dibuat dengan sketsa kasar agar yang lain bisa melihatnya.
Sakti mengambil peta itu. Jari-jarinya menelusuri garis-garis pada perkamen tua tersebut.
"Terima kasih, Gita, karena tidak membuka surat itu dan menunggu untuk berbagi momen ini dengan kami," katanya. Suaranya dipenuhi rasa penasaran.
Pandu mencondongkan tubuhnya ke bahu Sakti, matanya terbelalak karena gembira.
"Aku rasa ini sungai, dan titik besar di sana adalah pompa air desa," katanya sambil menunjuk. Jarinya melayang di atas lingkaran yang digambar kasar.
Gilang mencondongkan tubuhnya, kegembiraan dalam suaranya terasa jelas. "Ya, itu jembatan di dekat pohon dedalu!" tambahnya dengan antusias.
Gita mengambil kembali peta itu, jari-jarinya dengan hati-hati memegangnya seolah-olah itu adalah relik yang berharga.
"Lihat, ini tanda 'X', dan seperti kata pepatah, X menandai titik itu," katanya sambil menunjuk ke arah tanda samar. Tintanya hampir menyatu dengan latar belakang kertas yang menguning.