Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Rumah Berbisik: 7. Peta Kuno

21 Agustus 2025   18:18 Diperbarui: 21 Agustus 2025   13:04 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Sebelumnya: Rumah Berbisik: 6. Pintu Rahasia

Keesokan harinya, anak-anak itu bertemu kembali tepat pukul 10:00 di tempat aman mereka di samping sungai. Suara gemericik air bercampur dengan kicauan burung pagi. Sinar matahari menembus dedaunan, menciptakan bayangan berbintik-bintik di tanah. Udara segar, dengan aroma bunga liar dan tanah lembap yang samar. Anak laki-laki kini menerima kedua anak perempuan itu ke dalam kelompok mereka tanpa pertanyaan apa pun.

Gita sangat ingin berbagi apa yang telah ditemukannya malam sebelumnya. "Aku masih belum membuka surat tersegel yang kita temukan," katanya sambil mengangkat amplop yang belum dibuka agar yang lain bisa melihatnya. Kemudian, ia mengalihkan fokusnya ke benda lain di tangannya. "Tapi lihatlah kertas terpisah yang kutemukan bersamanya. Sepertinya seseorang menggambar peta!" serunya sambil membuka dan mengulurkan peta yang dibuat dengan sketsa kasar agar yang lain bisa melihatnya.

Sakti mengambil peta itu. Jari-jarinya menelusuri garis-garis pada perkamen tua tersebut.

"Terima kasih, Gita, karena tidak membuka surat itu dan menunggu untuk berbagi momen ini dengan kami," katanya. Suaranya dipenuhi rasa penasaran.

Pandu mencondongkan tubuhnya ke bahu Sakti, matanya terbelalak karena gembira.

"Aku rasa ini sungai, dan titik besar di sana adalah pompa air desa," katanya sambil menunjuk. Jarinya melayang di atas lingkaran yang digambar kasar.

Gilang mencondongkan tubuhnya, kegembiraan dalam suaranya terasa jelas. "Ya, itu jembatan di dekat pohon dedalu!" tambahnya dengan antusias.

Gita mengambil kembali peta itu, jari-jarinya dengan hati-hati memegangnya seolah-olah itu adalah relik yang berharga.

"Lihat, ini tanda 'X', dan seperti kata pepatah, X menandai titik itu," katanya sambil menunjuk ke arah tanda samar. Tintanya hampir menyatu dengan latar belakang kertas yang menguning.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun