Rencana Tuhan
Genangan air berwarna cokelat kotor di Jl. Masjid Raya setelah banjir surut dan berubah menjadi lumpur. Bertahun-tahun yang lalu Diah akan menenggelamkan kedua kakinya, memercik hingga kaus kaki dan celananya basah kuyup, tapi sekarang dia mengitarinya, menyeberang ke sisi lain, dan berjuang mendaki bukit. Parno, ayahnya, hampir berada di puncak, kepalanya menunduk melawan angin, tangannya terkubur dalam-dalam di saku mantelnya.
Parno berhenti di dekat tugu peringatan kemerdekaan di alun-alun pasar dan menunggu Diah. Bertahan di tempatnya, seperti ada garis tak kasat mata yang tidak bisa dilewatinya.
"Lanjutkan saja," katanya saat Diah menyusulnya. Parno mengangguk ke arah masjid. "Aku akan menunggu disini."
Parno sudah memberitahu putrinya bahwa dia tidak akan ke sana. Sudah muak dengan tempat itu.
"Aku takkan pernah menginjakkan kaki di sana lagi." Lalu terkekeh seperti lanun Selat Malaka. "Kecuali saat aku berada dalam keranda. Karcis sekali jalan, dan itu tidak masalah bagiku."
Parno terbatuk-batuk, meraih bungkus rokok dari dalam sakunya. Menghentakkan kakinya untuk menahan hawa dingin dan menyuruh Diah untuk segera bergerak atau dia akan terlambat. Parno ingin membakar sebatang rokok, hanya untuk beberapa sesapan. Untuk membantunya dalam perjalanan. Tapi dia berbalik dan berjalan menaiki jalan curam melewati kuburan. Angin bertiup mendesir di punggungnya, membuatnya menggigil.
Parno berhenti di pusara, terengah-engah, dan melihat kembali ke jalan setapak. Masih mencoba menyalakan rokoknya, tangannya menempel di wajah, pemantik api menyala dan mati. Bahkan dari jarak itu dia bisa melihat kalau ayahnya hanya mengacungkan jari dan jempolnya saja.
Parno menjatuhkan rokoknya, melumatkannya dengan sandal, dan merogoh saku jaketnya untuk mengambil sebatang rokok lagi.
***