Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

CMP 141: Pasir Pantai Panas

14 April 2024   09:18 Diperbarui: 14 April 2024   09:39 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi: dik. pri. Ikhwanul Halim

Aku berpindah dari meja ke meja, mengisi gelas dan menata piring di Kafe Tepi Laut ketika Vivi masuk. Sebetul nya bukan kafe dan tidak persis di tepi laut. Kami adalah satu-satunya rumah makan padang dengan meja bar terdekat dengan pantai umum, di mana pasirnya berada. Kakimu akan terbakar jika berani menyentuhnya secara langsung, tapi aku merasakan panasnya meski jaraknya dua ratus meter dari tepi pantai.

Dia berjalan ke bar dan mencoba bersandar santai sampai dia menarik perhatianku. Aku terdiam sesaat, menyadari rambutku yang putih karena matahari menjadi basah dan berat di kepala.

Senyumanku natural, tapi aku tidak berani mengangkat tanganku yang memegang piring untuk melambai. Gemetar, menunjukkan kegugupanku saat melihatnya. Dia menunggu sampai aku istirahat, lalu memberi isyarat agar aku bergabung dengannya di teras belakang.

"Surprise."

Bintik-bintik basah terbentuk di bawah lengan kemeja berkerahnya. Rambut hitam menempel di pangkal lehernya.

"Sudah lama!" kataku. "Apa yang membawamu kembali ke Teluk?"

"Aku sekarang Chef di Resto Tanjung, dekat dermaga. Baru mulai minggu lalu."

Jantungku berdebar kencang saat aku menyadari dia akan tetap di sini. Ada asa mengalir di diriku.

"Enak, dekat dermaga." Aku mendengar suaraku sendiri. "Pantai pribadi. Lebih keren. Nggak terlalu lembap."

Vivi terkekeh. "Kamu tak pernah datang mengunjungiku di Pangandaran. Kalau sudah di sana baru bisa bilang apa itu lembap yang sebenarnya."

Aku tertawa sambil menggaruk daguku. Jenggot yang berumur satu hari menempel di situ.

"Bukankah kita pernah membicarakan hal ini sebelumnya?"

"Kita membicarakan tentang cuaca saat pertama kali bertemu," kenangku sambil mengaitkan jari-jarinya ke jariku. Tangannya kasar, kukunya bersih dipotong pendek. "Kita tidak tahu apa yang harus dibicarakan selain panas terik di sini dan lembap Pangandaran."

"Berubah dengan cepat."

Senyumannya membuatku tetap di tempat. Aku membalas senyuman itu, mengingat.

Ini adalah percakapan singkat sebelum aku harus kembali melayani pelanggan. Mengucapkan selamat tinggal, dia menghadap ke arahku.

"Bagaimana kabar Malik?"

"Baik. Tapi..." Matanya menjadi gelap saat dia mengalihkan pandangannya ke luar jendela. "Kami berpisah lebih dari setahun yang lalu. Kami hanya..."

Mata kami bertemu. "Dia bukan orang yang tepat untukku."

Vivi berhenti sejenak, menarik napas. "Mungkin kita bisa bertemu malam ini dan membicarakan kelembapan lagi."

Aku mengangguk, tenggorokanku tercekat.

Dia akan menetap. Dan dia datang ke Kafe Tepi Laut untuk memastikan aku tahu dia akan tinggal di sini selamanya.

Aku selalu mencintainya. Mungkinkah dia masih mencintaiku? 

"Aku akan ke sana."

Setelah selesai giliran kerjaku, aku mandi, berhenti sejenak di depan cermin untuk menilai perubahan wajahku selama satu dasawarsa, bertanya-tanya apa lagi yang berubah. Aku tetaplah aku. Dia tetap Vivi. Tapi apakah dia masih Vivi-ku?

Saya mengenakan pakaian terbaikku ke dermaga dan menunggu di dekat Restoran Tanjung. Beberapa perempuan keluar dari restoran, tumit mereka goyah di atas batu besar. Aroma mentega cair dan ikan segar tercium di udara. Saat mereka melirik ke arahku, aku memeriksa ponselku.

Aku mengetukkan kakiku, menarik lengan baju. Keringat membasahi punggungku. Merapikan rambut dengan jari, dan menimbang-nimbang untuk pergi.

Pintu restoran terbuka. Vivi muncul.

Dia melihatku dan melambai, berjalan ke arahku di tengah udara panas.

Kami berbicara lama sampai dermaga sepi. Angin sejuk mengeringkan keringat di bawah rambutku saat kami berjalan menuju pantai.

Aku melepas sepatuku, menyeret kakiku ke pasir. Sekelompok anak-anak yang membawa ember dan senter berteriak dan tertawa ketika mereka menghindari kepiting-kepiting kecil yang terdampar di pantai dibawa ombak.

Vivi mendekat dan kami berpegangan tangan. Aku menatap matanya saat dia membungkuk. Bibir kami nyaris tidak bersentuhan. Aku merasakan asin garam.

Kami berciuman. Aku menghela napas.

Vivi-ku.

Cikarang, 14 April 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun