Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Rimba Bunian

2 Juni 2023   10:37 Diperbarui: 2 Juni 2023   16:13 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Muncul di tengah Bukit Barisan seperti bekas bisul pecah, Gunung Bandahara terkenal dengan banyak hal. Salah satu yang ketenarannya kurang dikenal adalah kecenderungannya yang meresahkan untuk melahap manusia.

 Jauh sebelum kedatangan penjajah Belanda, kaum pribumi menghindari kaki bukit yang rendah sebagai wilayah terkutuk, percaya bahwa mereka dihantui oleh roh jahat. Banyak pemburu dan pengumpul hasil hutan berkelana ke rimba untuk tidak pernah kembali. Suku-suku Melayu Tua yang melarikan diri dari invasi kerajaan Hindu dan Budha sekitar abad ke-7, menyebut wilayah itu "Rimba Bunian", nama yang cocok, meskipun apa sebenarnya yang dilakukan Rimba Bunian dengan para korbannya tidak jelas.

Pada tahun 1818, sebuah ekspedisi yang dibentuk oleh Raffles menghilang di dekat Bahorok, Langkat. Sebuah regu pencari dari Pangkalan Brandan juga hilang ... kecuali satu orang, yang tersesat ke sebuah desa dekat Tanggamus, Lampung yang sedang diamuk perlawanan warga. Dia tewas sebelum bisa memberikan penjelasan rinci, tetapi berhasil mengucapkan kisah kegilaan dan kengerian yang tak terbayangkan, yang sampai hari ini tidak bisa dimengerti sepenuhnya.

Pada akhir 1839, sebuah divisi marsose memburu Tjoet Maryam, istri Panglima Kandang, anak buah Teuku Jalil yang mengobarkan perlawanan terhadap penjajah Belanda, berbaris masuk rimba dan menghilang, hingga terlupakan di utara Rimba Bunian. Tahun berikutnya, Panglima Kandang sendiri pergi ke perbukitan di sepanjang sungai yang berhulu di Gunung Bandahara dan lenyap dari muka bumi. Konon, Johannes van den Bosch merujuk kehilangan Panghlima Kandang dalam buku hariannya yang hilang, menduga bahwa dia membelot. Tidak ada catatan tentang Panglima Kandang pasca-1839 .

 Orang-orang menghilang secara sporadis berlanjut selama depalapan dasawarsa berikutnya, tetapi hanya menarik sedikit perhatian. Namun, pada tahun 1942, Rimba Bunian kembali menjadi terkenal.

 Tahun itu, Perang Dunia II berkecamuk dan Belanda terusir dari bumi Musantara.

Di seluruh negeri, banyak kamp pelatihan wajib militer bermunculan hampir dalam semalam. Salah satunya di Blang Kejeren, lima puluh kilometer dari Gunung Bendahara.

 Pada sore hari tanggal 18 November 1943, seorang bocah laki-laki di Kutacane, tiga puluh kilometer selatan Rimba Bunian menghilang dari halaman belakang rumahnya. Orang tuanya, tentu saja, takut dia tersesat ke dalam hutan, dan melapor ke polisi setempat, yang kemudian melaporkan kepada sidookaan, perwakilan pemerintyah Jepang. Khawatir akan menjadi dukungan terhadap perlawanan pribumi yang sedang bergolak di selatan, sebuah regu pencari dengan tergesa-gesa dibentuk, dan bergegas menuju hutan belantara, ditakdirkan untuk tidak menemukan apa pun.

 Keesokan harinya, berita hilangnya anak tersebut menyebar, dan komandan Kamp Blang Kejeren menawarkan 300 orang untuk membantu pencarian.

 Para prajurit tiba sekitar tengah hari dan pergi ke hutan, tidak pernah terlihat lagi. Saat malam semakin larut, seorang polisi lokal yang hendak menuntaskan hajat di belukar di sepanjang jalan kuda ke gunung menemukan anak itu, tertidur di semak-semak.

 Saat fajar menyingsing pada pagi hari tanggal 20, lebih banyak orang dari Blang Kejeren datang untuk mencari rekan mereka. Selain secarik kain yang berkibar di dahan kantong semar yang menempel di pohon durian, mereka tidak menemukan apa pun.

 Bocah itu dirawat di rumah sakit Langkat karena pneumonia, dan kemudian meninggal tanpa pernah siuman dari koma.

 Hilangnya orang-orang Blang Kejeren sungguh mengejutkan bangsa. Namun, perang dengan cepat memanas, dan dunia perlahan-lahan lupa.

 

Sampai tahun 1998.

 

Pada siang hari tanggal 3 Oktober, penerbangan Garuda 152 dari Banda Aceh ke Jakarta mendadak turun enam belas kilometer di selatan utara Kutacane, menghindari efek Typhoon Loleng. Hampir selusin orang di Blang Kejeren melaporkan melihat bola api di langit sekitar pukul 11:49, dan kemudian mendengar suara ledakan yang menggelegar beberapa menit kemudian.

Pemadam kebakaran dari empat kecamatan di sekitarnya bergegas ke tempat kejadian, tetapi sama sekali tidak menemukan apa pun. Tidak ada api, tidak ada puing-puing, tidak ada mayat, tidak ada tanda-tanda apapun selain sore awal musim hujan seperti biasanya. Penerbangan 152 tidak pernah terdengar lagi.

Dalam dua puluh lima tahun sejak hilangnya Penerbangan 152, hanya pemburu dan peladang ganja sesekali hilang di Rimba Bunian. Tampaknya penghuni rimba mulai jinak, tetapi tidak banyak orang yang mengerti yang mau menjelajah untuk membuktikannya.

Cikarang, 2 Juni 2023

Disclaimer: kisah ini 100 persen fiksi. Kesamaan nama orang, tempat, peristiwa, bukan disengaja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun