Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Skandal Sang Naga (Bab 17)

14 April 2023   22:00 Diperbarui: 17 April 2023   20:48 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Sebelumnya....

"Oh, sayang sekali," katanya penuh simpati. "Lalu Anda di Palmerah...?" Pertanyaan itu menggantung di bibir Ranya.

Saat itulah aku merasakan serangan ke otakku. Dengan membuat cerita kunjunganku ke Palmerah agak samar, tujuannya mencegah pertanyaan langsung yang mungkin dibuat Detektif Toto tentang objeknya.

"Aku sebenarnya tidak ingin menceritakannya kepada siapa pun. Aku ke sama karena kebetulan mendapatkan tawaran dari salah satu perusahaan besar," kataku sambil tertawa canggung. "Aku hanya bertemu dengan headhunter, menimbang-nimbang posisi yang mereka tawarkan. Masih pikir-pikir, masih perlu negosiasi beberapa kali lagi. Terlalu lama sampai aku mengacaukan janji kita."

"Wah, mudah-mudahan Anda beruntung." Wajahnya mendung. "Jika Anda datang pada pukul setengah tujuh, Tuan Archer yang malang ..."

Kami berdua terdiam sesaat.

Aku yang bicara untuk memecah keheningan. "Bagaimana dia bisa masuk ke sini, Ranya? Kenapa dia ada di sini?"

"Tolong," dia memohon. "Saya sudah menjalani semua ini selama berjam-jam tadi malam dengan detektif polisi."

"Aku mendapat kesan bahwa dia tidak sepenuhnya yakin bahwa Archer bukan hanya kenalan biasa kamu." Pada saat itu tampaknya penting untuk mendengarkan jawaban langsung darinya. "Apa memang demikian, Ranya?"

"Saya belum pernah melihat pria itu sampai saya bertemu dengannya di hotel," jawabnya marah. Kemudian, dengan mengangkat bahu, dia berkata dengan suara letih, "Saya sebaiknya memberitahu Anda. Saya berbohong ketika mengatakan saya tidak pernah melihatnya lagi setelah pertemuan kita di Naga Cina." Dia menghindari tatapanku, lalu berkata dengan suara rendah, "Dia datang ke kamar saya malam itu."

"Dan ...?"

'Dia mencoba merayu saya." Ranya merentangkan tangannya. "Tidak ada hal lain yang terjadi. Archer minta maaf. Omong kosong tentang jatuh cinta sejak melihat saya di Cengkareng."

"Kamu memberi tahu Detektif Toto tentang ini?"

Ranya Vachel menggelengkan kepalanya.

"Mengapa tidak?" tanyaku.

"Supaya dia akan memberi tahu tunangan saya?" dia menjawab cepat.

"Pasti dia akan memberi tahu tunanganmu." Aku tersenyum. "Memangnya Yudhi Salim tunanganmu mrnganggap cincin pertunangan sebagai pagar kawat berduri yang mengelilingi gadis cantik?"

"Saya khawatir dia berpikir begitu. Mungkin asmanya yang membuatnya sangat tidak toleran." Kami saling beradu oandang cukup lama. "Dan meski terdengar tidak masuk akal, tapi saya rasa dia bahkan cemburu pada Anda."

Bel pintu berbunyi.

Aku tertawa pendek. "Cemburu padaku!'

Kemudian bel berbunyi lagi, dering yang berkepanjangan dan menuntut.

Dia berdiri. "Sepertinya Anda dan Yudhi akan bertemu juga."

Saat dia keluar untuk membuka pintu menyambut tamunya, aku mematikan rokokku di asbak yang dihiasi panorama Shanghai.

Sebuah suara bernada tinggi melayang dari lorong. "Apa yang terjadi, Yud? Mengapa tidak meneleponku?"

Terdengar napas berat mendengus. "Seorang detektif polisi baru saja menelepon dan berkata---"

"Tolong, Sayang. Jangan terlalu emosi. Asmamu---"

"Jangan emosi?" Suara itu meninggi. "Ya Tuhan, Ranya! Tidakkah kamu menyadari--- "

"Tenanglah, Yud," suara Ranya menajam. "Tuan Han ada di ruang tamu."

"Han?" Suara tunangan meledak. "Handaka Jaya? Lelaki yang satu pesawat denganmu?"

Aku tidak bisa mendengar dengan jelas bisikan Ranya.

Sesaat kemudian aku berdiri dan bergumam, "Apa kabar?" kepada seorang pria tinggi kurus kering dengan rambut hitam belah tengah, tanpa kumis, hidung bengkok, dan mata hijau pucat yang menatapku dengan pandangan bermusuhan.

Dia melepas topinya saat dia masuk, meletakkan payung yang tergulung sempurna sebagai pelengkap penampilan bersandar di dinding.

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun