Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kenangan Tsunami

23 November 2022   09:00 Diperbarui: 23 November 2022   08:59 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dia harus pergi. Sungguh, dia harus pergi ke sana.

Dia harus turun menyusur pantai, Pasir putih Lampuuk dan Lhoknga. Sangat penting baginya untuk sampai ke sana.

Di jalan aspal berpasir, ada sesuatu dari cara dia bergerak dan berputar-putar. Ada sesuatu yang ajaib tentang cara dia bergoyang. Ada sesuatu tentang cara dia membelok keluar  ke jalan setapak, ke rerumputan hijau subur, dan perlahan melepaskan sepatunya. Ada sesuatu tentang gerakan langkah dan jari kakinya menuju tebing pantai Babah Dua. Ada sesuatu tentang angin yang bertiup mengurai rambutnya. Ada sesuatu tentang ketabahan kaki telanjang menginjak rerumputan.

Saat dia semakin mendekati tepi tebing, ada sesuatu tentang kecerahan biru matanya, yang sayu setengah tertutup dan menatap lurus ke depan. Ada sesuatu tentang takik berlesung di pipinya. Ada sesuatu yang telah ditetapkan, dan betapa mantap langkah-langkah pendek berirama yang dia lakukan saat menuju tepi tebing. Ada sesuatu tentang cara dia memperlambat langkahnya, terseok-seok menuju tepi tebing.

Ada sebuah buku di tangannya, dan ketika dia berhenti di ujungnya, ada sedikit kegugupan dari kemilau kukunya yang diberi henna cerah. Mengetuk buku itu, dan tampak cahaya berkilauan memantul dari kukunya kembali ke langit yang terbuka hingga cakrawala.

Ada sesuatu tentang cara dia tersenyum, dan memandang ke laut, ke arah garis pantai lainnya. Matanya setengah terpejam, dan mengintip melalui bulu matanya, membuat jarak terasa lebih jauh.

Ada sesuatu tentang cara dia bergoyang-goyang menuju tepi tebing, dan saat dia berdiri di tepi dia bertanya tanpa suara, "Bagaimana jika? Bagaimana kalau? Bagaimana andai?"

Bagaimana jika aku punya sayap dan terbang layaknya elang? Bagaimana jika aku punya sayap dan terbang seperti bidadari?

Dan dengan pikiran yang simpang siur itu, senyuman muncul perlahan dari bibirnya yang dipoles tipis kunyahan daun sirih dan kerat pinang, menyebar di wajahnya yang tenang. Peristiwa ajaib ada di sana. Momen berharga yang disimpan dan dijaga.

Ketika dengan perlahan dia menundukkan kepala dan wajahnya ke kedalaman dan pergerakan arus samudra, dia perlahan melangkah mundur dari tepi tebing dan berbalik kembali ke jalan berpasir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun