Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Batas-Tak-Bertuan (X)

20 November 2022   17:51 Diperbarui: 22 November 2022   17:33 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Bayangan hitam yang bergulung di lengan Alira naik dan bergayut melingkari lehernya. Jari-jarinya mengusapnya dengan lembut, seolah-olah semacam barang yang sangat sangat berharga. Dia mengelusnya, lalu mengecupnya dengan penuh kasih sayang.

"Dunia Barat menjawab suar tanda bahaya kami. Bahkan, sangat cepat juga. Mereka sudah dekat saat itu."

Dia mengangkat bahu ke arah dermaga di luar. "Kapal itu. Kami begitu putus asa dan sangat ingin meninggalkan Werlang sesegera mungkin, maka kami tidak mengajukan pertanyaan. Tidak bertanya mengapa mereka mengintai ke Dunia Timur. Bahkan kami tidak ingat bahwa nereka adalah musuh selama perang Antar Dunia. Kami terlalu sibuk bertikai satu sama lain dalam perang saudara. Ketika berbaris untuk menaiki kapal itu, kami merencanakan penyergapan dan membunuh siapa pun yang menghalangi jalan kami. Bayang-bayang itu menelan kejahatan kami dan menyembunyikannya jauh ke dalam kegelapan mereka yang tak bertepi."

Si Pernapasan Air menghabiskan minumannya, dan mulutnya tetap terbuka lebar. Bayangan itu merangkak masuk, dan putih mata Alira yang kekuningan berubah menjadi hitam.

Malin menggeser mundur tubuhnya. Alira telah membuktikan bahwa dirinya lebih berbahaya daripada kabar yang diembuskan angin, dan Malin sangat tidak menyukai teman-temannya, tidak suka para pengunjung dari Dunia Barat berlabuh di muka pintu kedainya, dan tidak suka bahwa si Perempuan Duyung tahu banyak tentang dia. Apakah dia benar-benar seorang pengkhianat mata-mata?

Malin tidak bisa menghilangkan firasat buruknya dan tidak bisa menunggu keputusan Lalika. Berharap si Manusia Air segera pergi dengan membawa teman-temannya yang hitam kelam, dia mengisi batok di depan Alira dengan tuak terbaiknya. "Cerita yang sangat menghibur."

"Kamu tiba-tiba menjadi sangat pemurah, peramu tuak." Dia menyeringai sambil menuangkan minuman terenak di kedai Malin dari batok ke mulutnya hingga tetes terakhir. "Tambah."

Alira meniupkan napas dan bayangan hitam keluar dari hidungnya, lalu duduk di meja peramu. Matanya kembali seperti biasa dan dia mendorong batok kosong ke arah Malin.

Malin merasakan bulu kuduknya merinding. Dingin  mengalir dari leher belakang menjalar di tulang punggungnya. Dia menyeka tangannya di celemeknya, meremasnya, melenturkannya.

Jika bukan karena gumpalan kegelapan yang aneh itu, dia akan menendang Alira ke tengah samudra. Oh, dia teramat sangat ingin melakukannya, tapi Malin tidak cukup bodoh untuk itu. Dia menuangkan minuman lagi untuk si Gadis Duyung.

Lalika menghembuskan napas panjang, meringkuk di dalam mantelnya sehingga hanya mata dan rambutnya yang terlihat di atas kerah. Tangannya yang cacat tersembunyi di dalam lengan baju. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.

Setelah beberapa kali menarik dan menghembuskan napas, dia berkata, "I-itu mengerikan. Keluargamu semuanya tewas?"

Malin bertanya-tanya apa yang telah dia lewatkan. Apakah Alira mengatakan tentang itu?

"Bapakku. Suamiku. Anak-anakku. Ya. Tapi orang-orang yang menguasai lembah masih bernapas. Ibuku. Seorang saudara laki-laki, seorang paman, dan seorang saudara perempuan. Mereka musuhku. Mereka membunuh suamiku dalam perjalanan ke sini. Bersama bayang-bayang yang menjadi bagian diri kami, mereka membuang tubuhnya ke laut seperti sampah. Sekarang dia salah satu dari bayangan."

SI Manusia Insang mencium benda hitam di meja, memeluknya sampai kemudian benda itu meluncur kembali ke kursi di sampingnya. "Dia menemukanku lagi. Suamiku kembali padaku. Kesepakatan yang kami buat dengan kaum bayangan adalah kami tidak boleh dapat dipisahkan. Kesepakatan dengan mereka yang ada di atas di kapal adalah sesuatu yang lain. " Dia menepuk punggung Lalika.

Malin membiarkan rambutnya jatuh tergerai, membiarkan ikal rambutnya bermain-main ditiup angin dari jendela, menyembunyikan rasa jijiknya, karena dia membenci semua yang tersirat dari Alira.

Apakah dia memang bersikap baik kepada Lalika, atau punya niat luar biasa jahat? Malin ingin berteriak dan melakukan sesuatu. Dia meraba busur pendek yang dia simpan di bawah meja, berharap racun kalajengking yang diolehkan di ujung mata panahnya dapat membunuh si Gadis Duyung. Namun dia ragu bayangan itu akan terpengaruh oleh upas atau ujung tajam anak panah dan khawatir jika dia membunuh si Manusia Insang, bayang-bayang itu akan merasukinya.

Bunyi desis berbisik di belakang lehernya, menggumamkan bahwa ketakutannya benar. Gelombang pikiran yang datang dari bayang-bayang dan bukan dari hati nuraninya. Dia menahan diri agar bahunya jangan sampai bergidik.

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun