Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Legenda Sang Perusak (Bab 62)

19 November 2022   21:00 Diperbarui: 21 November 2022   16:41 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Setelah dua hari berlalu, semangat Awang akhirnya berhasil bangkit. Sesungguhnya, dia tidak secara sadar melakukannya, kurang lebih memblokir kejadian malam sebelumnya dari pikirannya. Waktu memiliki cara untuk membuat hal-hal mengerikan tampak tidak terlalu buruk baginya. Sebenarnya, itu adalah kemampuan yang dia kembangkan di masa lalunya, tetapi telah terlupakan kini.

Segalanya berjalan baik di tempat kerja untuknya, atau setidaknya, lebih baik daripada yang dia dan Kuntum alami sepanjang minggu. Hari yang baik ini mengilhaminya untuk berkendara ke sudut tempat dia melihat sosok itu. Dia harus menghadapi apa yang dia lihat, dan itu akan lebih mudah pada hari yang cerah. 

Matahari bahkan bersinar terang untuknya. Mungkin, mungkin saja, malam oitu memang manusia sungguhan yang ada di pojok itu. Mungkin jejaknya masih ada. Meski dia ragu, tetapi selalu ada peluang.

Kuntum bahkan mungkin ingin pergi bersamanya. Istrinya akan melakukannya jika tahu itu akan membuatnya merasa lebih baik. Kuntum benar-benar berubah dalam beberapa minggu terakhir, terutama sejak tahu dia hamil.

Ribut-ribut masa lalu sia-sia sekarang. Jika dia berhenti melihat sesuatu dan tak lagi kejang-kejang, hidupnya akan benar-benar normal. Sepertinya selalu ada sesuatu yang tidak beres. Dia mungkin saja mendapatkan gangguan. Itu dan kematian adalah dua hal terburuk yang bisa terjadi pada seorang manusia.

"Kuntum," kata Awang saat dia menjawab telepon, "bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar?"

"Tentu, sayang. Kita mau ke mana?"

"Uh ... Kupikir kita akan pergi ke sudut itu. Kamu tahu di mana aku melihat sosok itu."

"Bagaimana aku bisa lupa? Apa kamu yakin ingin melakukan ini, Awang?"

"Yah, ini hari yang cerah, dan monster biasanya hanya keluar di malam hari. Ya, tentu saja aku yakin. Apakah kamu ingin pergi?"

"Tentu saja aku akan ikut denganmu! Kamu tidak akan pergi ke sana sendirian. Itu sudah pasti."

"Bagus. Aku akan menjemputmu beberapa menit lagi. Aku cinta kamu, Sayang."

"Aku menunggu." kata Kuntum dan kemudian menutup telepon.

Kuntum berharap dia tidak akan menyesali ini. Jika itu mengembalikan Awang ke keadaannya seperti beberapa hari yang lalu, Kuntum sadar bahwa itu akan menjadi penyesalannya. Pikiran itu membuatnya perutnya mual.

Tapi ternyata mereka tidak menemukan apa-apa. Tidak ada jejak, dan tidak mungkin seseorang datang dan pergi untuk menciptakan ilusi seperti itu. Apa yang terjadi adalah murni kasus supernatural, atau lebih mungkin dari itu, murni kelainan mental yang disebabkan oleh trauma kepalanya.

Pikiran tentang kehancuran kembali datang ke benak Awang dengan ganas. Dia tahu pasti bahwa dia hancur berantakan. Dia lebih baik mati daripada kehilangan kewarasannya dan semua yang diperlukan, termasuk Kuntum. Dia harus mengambil kendali dan hanya itu yang ada di sana.

Mudah-mudahan, Kuntum tidak berpikir bahwa dia kehilangan akal sehatnya. Tidak peduli sebesar apa cinta Kuntum padanya, cinta itu takkan bertahan melalui kehancuran. Masa-masa sulit masih terlalu dekat di belakang mereka, dan dia tahu bahwa masalah dapat muncul lagi kapan saja. Dia harus mencari tahu hal ini sebelum menjadikan pernikahannya berakhir.

Perjalanan pulang terasa sepi. Awang takut bertanya pada Kuntum apa pendapatnya tentang dia, dan Kuntum takut apa pun yang dia katakan akan menunjukkan ketidakpercayaannya. Mereka berdua bingung dan ... takut.

Kuntum tidak kehilangan kepercayaan pada Awang. Dia takut dalam banyak hal, tetapi dia sama sekali tidak kehilangan kepercayaan pada suaminya. Alasan ketakutannya berakar dalam dirinya, seperti alasan Awang baginya. Dia yakin Awang juga tidak akan mengerti. Dia benar-benar tidak tahu apa yang menimpanya.

Mereka harus duduk untuk berbicara lagi sebelum menjadi lebih buruk.

Malam ini.

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun