Aku ingin menanam melati di taman.
Aku membayangkan kita duduk membaca di teras, dikurung oleh aromanya di malam musim kemarau, setelah sebelumnya bau masakan ikan bakar dan asap kayu cemara.
Melati memikat lebah dan membawa keberuntungan, menjauhkan kecemburuan dan mengusir hama serangga. Itu adalah aroma masa muda, ketika segala sesuatunya tampak jauh lebih sibuk dan tergesa-gesa, dan aku merokok di atap datar di luar jendela kamar kita saat fajar. Aku sudah berhenti merokok bertahun-tahun sekarang.
Aku akan kembali dengan damai, mencium aroma parfummu, bukan abu tengik.
Tapi taman kami menghadap ke arah yang salah dan rumah kita menghalangi cahaya yang dibutuhkan untuk apa yang kuinginkan.
Aku tahu melati akan tumbuh bengkok bengkok dan jelek di luar sinar matahari penuh, dan aku tak punya pilihan selain kecewa yang terpendam. Kamu bilang sebaiknya aku menyerah dan aku mengangguk seakan menerima saran tentang pemangkasan, tetapi aku sudah lama lupa untuk melakukannya.
Sekarang, hanya ada tanaman merambat yang tumbuh liar, merentangkan sulur-sulurnya, mencekik batang kurus pohon melati yang merana. Ketika tak dapat menemukan tambatan, menarikku saat berjalan ke gudang untuk mengambil pemotong rumput atau sesuatu.
Aku melewati jarak jangkauannya, lalu membawa gunting kebun yang tajam dan bergagang merah setiap kali keluar dari pintu belakang.
Sesekali aku menebasnya dengan gunting, mengayunkan sulur-sulur yang berliku-liku sampai seluruh tanaman bagai runtuh ke arahku, seolah-olah hendak mencekikku.
Aku bertanya-tanya apakah suatu hari sulur itu akan menangkap dan menarikku ke sudut gelapnya, surga tempat mereka bernaung.