Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Penyihir Kota Kembang: III. Kisah Sang Ratu (Part 2)

4 Oktober 2022   21:30 Diperbarui: 4 Oktober 2022   21:29 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Perempuan itu tersenyum. "Semua cerita yang pernah diceritakan berasal dari kebenaran," katanya, dan melihat ke langit yang menaburkan semburat cahaya oranye di latar lembayung biru tua

Lalu, dengan tenang dia meneruskan kata-katanya, "Cerita adalah tempat kenangan berdiam saat kita melupakannya."

Dia terus memandang ke langit, dan anak-anak saling memandang dengan gugup. Perempuan tua terkadang melakukan itu, menatap jauh melampaui ruang hampa. Sepertinya tubuhnya ada di sana, tetapi pikirannya berkelana ke tempat dan waktu yang berbeda.

Hening terbungkus keraguan, sampai akhirnya keraguan dan kemudian, "Bibi," suara Enah lirih membelah keheningan.

"Cerita ini," wanita tua itu tersentak, "berasal dari masa lalu, saat kalian belum lahir, dan mungkin orang tua kalian juga belum lahir. Katakan padaku karena aku lupa, siapa yang berkuasa sekarang?"

"Prabu Bratasenawa," jawab Nyonyon. Dia adalah yang paling kuat dari mereka. Tak terhitung berapa banyak tongkat rotan yang patah di punggungnya.

Wanita tua itu mengangguk dan tersenyum. "Sanna," katanya, "dia masih anak kecil saat itu. Tidak lebih besar dari kalian semua."

Anak-anak terkikik mendengarnya, membayangkan patih agung membungkuk seorang anak seperti mereka. Wanita itu melanjutkan, "Ayahnya sebelum dia adalah Prabu Suraghana atau Rahyang Mandiminyak. Suraghana seperti namamu, bocah," dia menunjuk Nyonyon. "Nama itu penting sebagai harapan yang dapat memberi pertanda masa depan seseorang."

Nyonyon berseri-seri dan berdiri dengan kedua tangan di pinggangnya. "Apa kalian berdua dengar?" dia berkata. "Bibi bilang aku akan jadi raja!"

"Jangan konyol, Nyonyon," tegur Enah. "Hanya seseorang dari garis keturunan raja yang bisa menjadi raja."

Nyonyon menatap perempuan tua itu untuk mendapatkan dukungan, tapi dia hanya mengangkat bahu dan berkata, "Maaf."

Dikdik tidak mengatakan apa-apa.

"Pada hari-hari itu," wanita itu melanjutkan ceritanya saat api di tungku berkobar dan langit menjadi gelap, "Mandiminyak baru saja dikukuhkan sebagai putra mahkota dan Dewi Manawati telah menjadi Ratu.

"Pada tahun ke duapuluh pemerintahan Wretikandayun, baginda sakit parah dan tidak bisa bangun dari tidurnya. Tabib dan dukun datang dan pergi tanpa hasil. Semua pengampu ilmu gaib negeri dipanggil, tetapi mereka juga gagal untuk menyembuhkan Raja. Kemudian mereka membuat kesepakatan dengan kerajaan Shima," perempuan itu memandang marah ke timur, "tapi tidak ada kemajuan sama-sekali. Berminggu-minggu berlalu, lalu berbulan-bulan, dan setahun berlalu. Raja tidur, dan tetap saja, tidak ada obat yang membangunkannya."

"Se ... tahun tanpa raja," Dikdik menarik nafas, pandangannya tertuju ke tanah. "Pasti buruk."

"Itu dulu," wanita tua itu mengangguk, "Kekacauan di negeri ini, dan iblis timur yang menginvasi tanah kita membuat kesepakatan dengan para panglima yang menjual orang-orang kita sebagai budak dengan imbalan emas dan senjata. Maka, sebuah dewan dibentuk, terdiri dari Ratu, Mandiminyak, dan empat patih, ditambah pendeta istana. Mereka yang menjalankan Kerajaan dalam ketidakhadiran baginda Wretikandayun yang malang. Ratu Manawati duduk di singgasananya dan menatap mereka dengan kaku saat para tetua dengan gugup beringsut di kursi mereka.

'Yang Mulia Ratu,' salah satu dari mereka berkata, 'kami telah mencoba segalanya. Tapi tak seorang pun, bahkan tabib kerajaan timur, berhasil membuat raja kita bangun dari tidurnya.'

'Sebenarnya kita belum mencoba segalanya,' kata pendeta istana, seorang lelaki tinggi besar bernama Bujangga Manik. 'Kabar angin mengatakan, ada seorang penyihir,' katanya, 'yang tinggal di pinggiran kerajaan.'

Ratu menatapnya sedingin angin di puncak Gunung Galunggung. 'Lalu mengapa,' katanya, 'kamu baru menyampaikannya sekarang, Bujangga?'

'Penyihir menjadi pilihan terakhir,' jawabnya, matanya bertemu dengan tatapan tajam Sang Ratu. Ratu menatapnya lebih lama dan menoleh ke para patih.

'Kirim sepuluh prajurit pilihan dan biarkan mereka membawa penyihir ini kepadaku. Hari ini.'"

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun