Hari ini, mereka pergi ke gubuk wanita itu, yang dipenuhi bekas luka baru yang belum pernah mereka lihat. Angin meniup berkesiur ke sana kemari menebarkan aroma masa lalu dari pintu gubuk yang terbuka. Udara dipenuhi dengan wangi manis masakan wanita itu di panci besarnya, di atas api kecil di sebelah gubuknya.
Tulang-tulang ayam hutan berserakan di dekatnya.
Mereka bertiga perlahan-lahan mendekati perempuan tua yang memunggungi mereka. Tentu saja mereka telah mendengar tentang apa yang terjadi dengan para pemuda dan tahu bahwa tidaklah bijaksana untuk melakukan gerakan tiba-tiba di sekitar perempuan itu.
Dia lebih kuat dan lebih cepat dari penampilannya. Salah satu dari pemuda yang kehilangan tawa dan canda adalah seorang opsir.
"Bibi," kata Enah, yang tertua dari tiga bersaudara. "Kami datang untuk mendengar cerita."
Dua adik laki-lakinya, Nyonyon dan Dikdik mengangguk.
Wanita itu tidak membalikkan punggungnya. Dia terus mengaduk sup. "Duduk," katanya, dengan tekanan suara yang mampu menundukkan macan. "Makan dulu, baru cerita."
Anak-anak mengangguk dan duduk saat dia memberi mereka mangkuk dan sendok keramik, lalu menyendok sup ayang ke masing-masing mangkuk.
Mereka makan dalam diam. Makanannya terasa enak seperti baunya.
Setelah mengumpulkan piring mereka, dia duduk di depan mereka bertiga. Matahari menuruni kaki langit dan sinarnya memancarkan cahaya gaib.
Dia terbatuk. "Anak-anak," katanya, "Aku telah bercerita kepada kalian tentang banyak hal. Aku telah mendongeng kisah-kisah yang telah diturunkan dari zaman ke zaman. Hari ini, jika kalian mau mendengarkan, aku akan menceritakan kisah tentang penyihir, yang menurut sejarah, dulu tinggal di sini, "dia menunjuk ke .gubuk,