Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Legenda Sang Perusak (Bab 12)

17 September 2022   11:57 Diperbarui: 17 September 2022   12:05 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Sembilan jam kemudian, Awang masuk kamar mandi dengan rasa yang lebih buruk daripada kotoran yang hangus di lidahnya

"Ini akan menjadi hari yang sangat menyebalkan," gumamnya pada dirinya sendiri saat dia keluar dari ruang di sekitar toilet.

Kalimat 'Aku tidak akan pernah minum lagi,' berulang-ulang berputar di benaknya. Tapi tentu saja dia akan melakukannya lagi. Dia selalu melakukannya, dan jauh di dalam jiwanya, dia tahu itu. Dia sudah menggunakan kalimat itu lebih dari seribu kali, dan ini tidak akan menjadi yang terakhir kalinya.

Merasa jijik dengan dirinya sendiri, dia teringat hasil survei yang mengatakan tujuh puluh persen dari mahasiswa universitas yang minum demi pergaulan menjadi lebih buruk saat mereka lulus. Dan dia tahu bahwa begitu dia menjadi kecanduan, itu akan menetap seumur hidup.

Terhuyung-huyung keluar dari kamar mandi lantai bawah dengan pakaian yang dikenakannya ke klinik kemarin, Awang bergumam, "Di mana Pepto Bismol sialan itu? Aku tahu kita punya di sini. Lebih baik tetap di sini, jangan dipindah ke mana-mana!" dia bergumam kesal, mengingat Kuntum tidak tahan dengan bau sirup merah muda yang menjijikkan baginya.

Masih bergumam pada dirinya sendiri, dia terhuyung kembali ke kamar mandi untuk mencari obatnya.

Begitulah kalau punya istri, ada saja cara untuk memasuki hidupmu dan menghancurkan semua yang menjadi kebiasaanmu sebelum menikah. Sama seperti sepatu jogging lamanya. Ketika Kuntum membelikannya yang baru, dia membuang yang lama yang masih sangat bagus. Dia telah memakainya selama lebih dari sembilan tahun. Kuntum bisa saja membunuhnya. Lagi pula, bagaimana dia membuat keputusan drastis tanpa menanyakan bagaimana perasaannya tentang hal itu?

Setelah membanting beberapa pintu lemari dinding tanpa hasil, Awang akhirnya menyerah mencari Pepto Bismol dan menuju dapur. Susu dingin biasanya menenangkan perutnya sebelumnya, dan tidak ada alasan kali ini akan berbeda. Setelah menuangkan susu, dia dengan panik meneguknya. Beberapa detik kemudian, suara usus bergolak keras yang mengerikan datang dari perutnya yang tersiksa karena susu tak lagi diterima untuk diolah. Tetapi karena dia tidak mabuk kali ini, Awang berhasil sampai ke wastafel dan berhasil dengan mudah memuntahkan cairan putih ke dalam wastafel yang penuh dengan piring kotor yang belum dicuci.

"Sial! Aku tidak percaya ini! Kali ini aku sungguh-Sungguh pingsan lama," suaranya berdeguk dari mulutnya yang asam dan berlepotan susu.

Dia meraih kantong plastik sampah untuk berjaga-jaga jika akan muntah lagi, dan kemudian terhuyung-huyung menuju sofa ruang tamu. Melewati sudut selasar dia melihat stetoskopnya tergantung di dinding dan dengan susah payah memikirkan pekerjaan.

Kalau nanti Kuntum turun untuk sarapan, dia bisa menelepon klinik dan memberi tahu mereka bahwa dia akan terlambat beberapa jam. Tidak mungkin dia bisa menangani semua orang sakit di Taluk Kuantan yang sangat membutuhkannya dengan kondisinya saat ini. Klinik itu adalah mimpi buruk terbaiknya ketika dia sehat.

Dan langsung saja Awang kembali terlelap dalam tidur yang gelisah. Dia tidak mendengar Kuntum yang menuruni tangga kayu batang kepala yang tidak berkarpet.

Melihat suaminya meringkuk di sofa dengan kantong sampah terselip di bawah dagunya, dorongan pertama Kuntum adalah untuk tertawa. Ini pertama kalinya dia melihat Awang sesakit ini sejak mereka menikah. Kecuali kecelakaan itu, Awang tidak pernah sakit. Dan pemandangan seorang dokter yang lebih sakit daripada kebanyakan pasiennya karena perilaku bodohnya sendiri sebenarnya cukup lucu.

"Awang... Awang," katanya sambil dengan lembut sambil mengguncang tubuh suaminya. "Apakah kamu tidak pergi ke klinik hari ini?"

Nyaris tak melihat Kuntum dari dari balik kantong sampahnya, Awang mengerang, "Tolong telepon klinik untuk mengabarkan aku akan terlambat. Aku tidak sanggup sekarang."

Mundur dengan cepat karena mencium aroma napas Awang yang penuh muntah, Kuntum diliputi rasa jijik, lantas mengomel.

"Menurutku kamu beruntung, karena sesungguhnya orang-orang tidak mengharapkanmu untuk bisa bekerja kembali setelah kecelakaan itu. Kebanyakan orang tidak lolos karena perilaku bodoh dan sembrono semacam ini. Apa yang akan dipikirkan pasien-pasienmu jika mereka melihatmu seperti ini?"

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun