Kalau nanti Kuntum turun untuk sarapan, dia bisa menelepon klinik dan memberi tahu mereka bahwa dia akan terlambat beberapa jam. Tidak mungkin dia bisa menangani semua orang sakit di Taluk Kuantan yang sangat membutuhkannya dengan kondisinya saat ini. Klinik itu adalah mimpi buruk terbaiknya ketika dia sehat.
Dan langsung saja Awang kembali terlelap dalam tidur yang gelisah. Dia tidak mendengar Kuntum yang menuruni tangga kayu batang kepala yang tidak berkarpet.
Melihat suaminya meringkuk di sofa dengan kantong sampah terselip di bawah dagunya, dorongan pertama Kuntum adalah untuk tertawa. Ini pertama kalinya dia melihat Awang sesakit ini sejak mereka menikah. Kecuali kecelakaan itu, Awang tidak pernah sakit. Dan pemandangan seorang dokter yang lebih sakit daripada kebanyakan pasiennya karena perilaku bodohnya sendiri sebenarnya cukup lucu.
"Awang... Awang," katanya sambil dengan lembut sambil mengguncang tubuh suaminya. "Apakah kamu tidak pergi ke klinik hari ini?"
Nyaris tak melihat Kuntum dari dari balik kantong sampahnya, Awang mengerang, "Tolong telepon klinik untuk mengabarkan aku akan terlambat. Aku tidak sanggup sekarang."
Mundur dengan cepat karena mencium aroma napas Awang yang penuh muntah, Kuntum diliputi rasa jijik, lantas mengomel.
"Menurutku kamu beruntung, karena sesungguhnya orang-orang tidak mengharapkanmu untuk bisa bekerja kembali setelah kecelakaan itu. Kebanyakan orang tidak lolos karena perilaku bodoh dan sembrono semacam ini. Apa yang akan dipikirkan pasien-pasienmu jika mereka melihatmu seperti ini?"
BERSAMBUNG