Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Begal Rimba Tulang Bawang (Bab 13)

11 Agustus 2022   18:01 Diperbarui: 11 Agustus 2022   18:05 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Malamnya saat penduduk desa tertidur nyenyak, Keti berbaring gelisah dengan mata nyalang, frustrasi dan tidak bisa tidur. Dia menghela nafas dan melirik Palupi yang berbagi dipan dengannya.

Keti keluar rumah untuk menikmati suasana malam yang tenang sejuk berangin.

Ditemuinya Janar sedang duduk di tanah depan rumah dengan kaki bersila, menatap bintang-bintang yang berkelap-kelip di langit. Keti duduk di sampingnya dan melingkarkan lengan ke tubuhnya sendiri yang menggigil kedinginan.

Janar menoleh. "Tidak bisa tidur juga?"

Keti mengangguk, "Aku hanya merasa gelisah".

"Aku mengerti. Seminggu yang lalu, kamu melakukan perjalanan untuk membalas dendam, menghancurkan musuh-musuhmu. Mereka hanyalah tentara bayaran biasa. Tapi sekarang di sinilah kamu, berperang melawan titah raja untuk menyelamatkan banyak jiwa. Bukan beban yang ringan untuk dipikul oleh banyak orang."

Keti menatapnya heran. "Di mana seorang Janardana yang kulihat beberapa hari yang lalu? Berhentilah mencoba menjadi bijak. Itu tidak cocok untukmu," kata Keti.

Janar tersenyum. "Mungkin aku hanya mencoba membuatmu terkesan."

Pipi Keti memerah, mereka saling bertatapan, terkunci tak bisa mengalihkan pandangan masing-masing.

Dada Keti berdegup saat Janar menarik tubuhnya perlahan dan mendekat ke arahnya. Bibir pria itu setengah terbuka. Matanya melebar ketika dia menyadari apa yang akan Janar lakukan.

Dia terbatuk-batuk, menekan debar jantungnya yang mengencang. Janar tiba-tiba mundur, menatap kakinya dengan gugup.

Dalam upaya untuk meredakan ketegangan di antara mereka, Keti bertanya, "Jadi bagaimana kamu bertemu yang lain? Maksudku Palupi, Ganbatar dan Ubai."

Janar terkekeh pelan. "Aku bertemu Ganbatar dalam acara Sabung Jagoan di sebuah tanding bayaran. Saat itu aku sangat membutuhkan wang. Aku baru saja meninggalkan gerombolanku. Sejujurnya, kami terjebak dalam penyergapan oleh pasukan kerajaan. Rupanya kami sangat terkenal sehingga sampai ke kedatuan. Raja sendiri mengirim pasukan untuk mengakhiri riwayat kami. Banyak yang tewas, hanya beberapa yang berhasil lolos termasuk aku. Kami harus tetap menyamar untuk menghindari pengejaran. Berminggu-minggu bersembunyi menjadi berbulan-bulan, ketika akhirnya aman untuk menunjukkan wajahku. Aku tidak punya wang dan kelaparan. Aku tidak bisa mengambil risiko kembali menjadi begal, jadi bergabung dengan sabung berhadiah. Aku dan Ganbatar berhasil mencapai babak akhir dengan aku sebagai pemenangnya. Sejujurnya, dia akan menang kalau dia tidak terlalu percaya diri dengan kekuatannya. Dia meremehkanku dan aku memanfaatkan kesempatan itu dengan baik. Setelah pertandingan, dia memburuku untuk tanding ulang. Pada awalnya, saya mencoba untuk mengabaikannya tetapi dia sangat gigih. Seiring waktu, kami menjadi teman seperjalanan dan dia mengubah segalanya menjadi persaingan. Siapa yang makan lebih cepat, siapa yang membunuh paling banyak, yang memiliki lebih banyak pengagum, siapa di antara kita yang paling banyak minum tuak," Janar tertawa.

"Itulah awal persahabatan kami dan dia memperkenalkanku pada Ubai. Dia dan Ubai berasal dari kelompok yang sama. Palupi bergabung kemudian. Tidak pernah dalam mimpi terliarku akan berakhir seperti ini. Sekelompok begal menyelamatkan kerajaan dari raja gila. Kedengarannya seperti babad salah musim."

Keti tertawa. "Jika kesombongannya tidak dimasukkan dalam penilaian, Ganbatar tidak terlalu buruk. Dia seperti bayi dalam tubuh raksasa."

Janar tertawa dan mengangguk setuju.

Keti berdiri dan membersihkan pantatnya, "Terima kasih, aku butuh tertawa untuk menenangkan pikiran. Aku merasa lebih santai sekarang."

Janar menatapnya. "Kamu tidak akan membicarakan tentang dirimu sendiri? Aku pendengar yang baik dan ahli dalam menenangkan dengan cara memeluk jika kamu merasa kesepian. Diuji dan sibuktikan oleh beberapa lusin perempuan."

Keti menjawab geli, "Mungkin suatu hari nanti, kalau kamu beruntung."

"Kalau begitu aku akan berdoa kepada para dewa dan mempersembahkan kepala Raja sebagai korban jika perlu, untuk menyaksikan hari seperti itu," Janar mengedipkan mata.

Keti terkekeh dan berjalan kembali ke dalam rumah, meninggalkan Janar yang kembali menatap bintang-bintang sambil melamun.

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun