Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lutut Dahan Pohon Mati

13 Januari 2022   07:35 Diperbarui: 13 Januari 2022   07:40 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jadi aku telah berjalan di jalan setapak ini dari danau, bukan? Dan lututku membunuhku.

Tentu saja aku sudah melangkah lebih jauh hari ini daripada yang seharusnya, dan kebanyakn jalan menurun, yang menurut dokter adalah hal terburuk untuk lutut seperti lututku. Kamu tahulah, soal sendi sambungan tulang-ke-tulang. Tampaknya menuruni bukit adalah hal terburuk yang dapat kamu hadiahkan untuk lututmu

Aku sudah memelihat foto rontgen lututku. Tulang rawan di lututku lebih berbulu daripada ulat pohon rambutan di musim bunga.

Tuhan, aku merasa hidupku berakhir di sini. Apa yang harus aku lakukan? 'Santai-santai saja' seperti yang dikatakan oleh ahli bedah ortopedi muda yang sombong itu? Membiarkan hidup lewat begitu saja?

Tidak, bukan pasien yang bandel ini!

Aku masih jalan di jalur setapak setiap akhir pekan jika cuaca memungkinkan. Ada terlalu banyak panorama pedesaan yang belum kulihat, dan banyak tempat yang ingin kukunjungi lagi pada musim yang berbeda atau di bawah mega berarak yang berbeda, atau ditemani oleh teman yang berbeda.

Aku tak akan tiarap selama bisa merangkak, dan lutut rapuh ini tidak cukup buruk untuk itu.

Aku hanya bisa menelan beberapa butir ibuprofen dan sim salabim! Aku punya waktu lima atau enam jam sebelum khasiatnya habis. Kalau saja kamu tahu apa saja yang dapat dikerjakan selama lima taua enam jam!

Jadi, seperti yang aku katakan, aku berjalan di jalan setapak dari danau, mendaki dan menuruni lereng curam, dan tidak jauh dari jalur setapak menuju tempat parkir, tetapi lututku membunuhku, jadi aku berhenti sebentar untuk mengatur napas.

Aku memikirkan semua yang telah ku lihat hari ini di tepi danau kecil yang indah itu. Air sebening kristal yang menjadi biru gelap saat semakin dalam. Tepinya diukir batu alam.

Meskipun ini bulan Januari petengahan musim hujan, hari ini cerah dengan hamparan dandelion di bayang-bayang bibir danau. Ada burung peatuk biru dan burung kutilang kuning beterbangan keluar masuk pohon tusam, dan meskipun aku tidak bisa melihatnya, sesekali mendengar siulan kelinci di bebatuan di seberang.

Langit sebening kristal dan udara segar dan bersih, keluar masuk paru-paruku halus dan bersih dan sejuk seperti menghirup aroma obat batuk.

Jadi, aku berdiri di sana di jalan setapak, mengatur napas dan menjaga berat badanku jangan sampai membebani lutut, lalu menoleh ke samping, dan apa yang kulihat? Sebatang pohon mati yang kurus, tegak di sisi jalan setapak. Namun ini bukan pohon tusam mati yang biasa. Bukan.

Yang ini memiliki kelainan bentuk di dahannya, tepat setinggi mataku. Kebengkokan yang aneh. Mungkin pernah ada cabang pada satu waktu yang jatuh. Kini ada semacam tonjolan di samping dan sebuah lekukan di tengah.  Terlihat seperti sendi lutut. Aku tahu betul, karena telah melihat foto sinar-x. Batang pohon ini terlihat seperti lututku sendiri, usang dan kaku, seolah-olah akan hancur jika kamu memukulnya dengan keras, tetapi tetap bertahan di sana, menerima apapun perlakuan cuaca pegunungan.

Dan aku berdiri di sana,  menatapnya. Aku berpikir bahwa lututku sendiri terasa sedikit lebih baik, dan aku merasakan napasku kembali normal.

Dua menit kemudian aku menyusuri jalan setapak menuju mobil. Aku akan pulang dan membuat minuman herbal yang hangat dan minum beberapa butir ibuprofen lagi dan menopang lututku di sofa.

Besok aku berencana untuk mendaki lagi di bukit yang berbeda, tetapi saya harus memeriksa pohon lutut itu sesekali. Meskipun batangnya lapuk dan tua, jika bisa melewati beberapa musim lagi, maka aku juga bisa.

Bandung, 13 Januari 2022

Sumber ilustrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun