Agung sedikit lebih cepat dari jadwal ketika dia meninggalkan Merak. Menghirup air mineral dari botol plastik, mengemudi ke selatan meninggalkan kesibukan pelabuhan beberapa kilometer di belakang. Menyeka bibirnya, dia meletakkan borol mineral di dashboard. Boneka badut yang tergantung di kaca spion depan bergoyang-goyang pelan.
Dia baru dua hari dalam perjalanan besarnya, menuju Garut dan pekerjaan barunya, meninggalkan Medan selamanya, dengan senang hati.
Sumatera tidak terlalu ramah padanya. Bulan lalu dia kehilangan pekerjaannya, kekasihnya, dan dia akan kehilangan mobilnya jika dia tidak memutuskan untuk keluar secepatnya dari kejaran debt collector tepat di depan hidung mereka.
 Ketika dia melihat tanda keluar jalan tol ke Cilegon Barat, dia memutuskan untuk melakukan sedikit petualangan. Â
Tapi sekarang dia kembali ke timur, kembali ke rumah, di mana dia harus menelan harga dirinya dan mengakui kepada keluarga dan teman-teman lamanya bahwa Medan bukanlah surga yang dia katakan kepada mereka, jauh di masa lalu. Agung telah membuat mereka menjauh dengan seringai sombong di wajahnya.
Tapi tak mengapa, setidaknya dia mengerti orang-orang di rumah. Dia tahu mereka akan berterus terang padanya, akan mengolok-oloknya hingga gosong, dan kemudian mereka akan menerimanya kembali, seakan-akan dia tidak pernah pergi meninggalkan kandang.
Orang-orang Medan... tak pernah tahu apa yang mereka pikirkan. Namun, itu bukan masalah lagi. Sepupunya telah berjanji padanya untuk memberinya pekerjaan di bengkel di kota tempat dia dibesarkan, apa pun yang dia butuhkan untuk bangkit kembali.
Keluar dari jalan dan berputar-putar tak mengindahkan rambu-rambu sampai ke jalan berliku yang melintasi petak-petak kolam ikan, berbelok menjauh hingga truk-truk tampak seperti semut yang merayap melintasi lembah hijau di kejauhan. Setelah beberapa kilometer, dia berhenti di ujung jalan desa, menikung dari jalan beraspal tanpa rambu lalu lintas.
Agung berhenti di ujung tikungan dan keluar dari mobil. Dia terkejut bahwa udara tidak terlalu panas, meskipun hari itu cerah di bulan Mei. Angin sepoi-sepoi yang turun dari perbukitan datang dari laut selatan, bersiul di sekitar antena radio mobil, tetapi selain itu benar-benar sunyi.
Hari Minggu di luar musim turis, jadi seluruh dunia untuk dirinya sendiri. Ada dinding beton rendah di dekat parit irigasi. Dia berjalan ke sana dan duduk, menikmati matahari mengelus wajahnya.
Agung menatap ke seberang bukit dan dia sadar bahwa gunung samar-samar yang bisa dia lihat di cakrawala pasti luluhan atau bahkan ratusan kilometer. Anak Krakatau atau Gunung Salak. Dia tak tahu pasti. Atau mungkin hanya fatamorgana.
Dia tidak dapat mengingat kapan dalam hidupnya dia sendirian, benar-benar sendirian. Ketika dipikirkan lagi, dia merasa agak lucu, tapi dia tidak merasa berbeda sekarang. Di sini sendirian dengan yang dia rasakan selama beberapa minggu terakhir di Medan, meskipun dikelilingi oleh ribuan orang. di tengah kota besar. Tak satu pun dari mereka yang peduli padanya. Bahkan sekadar mengingat keberadaannya. Itulah yang benar-benar mengusirnya. Dia bisa mengatasi hal lain: kehilangan pekerjaan, pacar, atau mobil. Tapi tidak perasaan kesepian itu. Bukan, lebih dari itu.
Kesendirian yang benar-benar kesendirian yang membuatnya menyerah.
Saat dia menghangatkan diri mengolah pro vitamin D dengan berjemur di bawah sinar matahari di dinding beton, dia melihat ke kanannya dan melihat ada orang yang berdiri di tepi jalan di antara petak kolam, melambaikan tangan padanya.
Tidak, tunggu, itu bukan manusia, melainkan orang-orangan sawah yang entah bagaimana berada di antara petak-petak kolam. Tingginya hanya satu meter kurang, dengan baju kemeja kotak-kotak usang robek di sana-sini dan biji cemara sebagai mata dan ranting kayu untuk lengan.
Dia tersenyum pada dirinya sendiri. Orang-orangan sawah itu persis seperti dia, sendirian di kota besar.
Dia menuju pulang ke Garut, di mana ada orang-orangan sawah dan sawah sungguhan, dan banyak dari mereka, orang-orangan sawah di setiap petak sawah. Mereka takkan pernah sendirian atau merasa sendirian, sampai tugas mereka selesai di akhir musim panen.
Agung bangkit untuk melanjutkan perjalanannya. Tetapi sebelum dia pergi, dia mengambil boneka badut dari kaca spion, melepaskan jaket kulit usangnya, lalu memakaikan keduanya ke orang-orangan sawah tersebut.
Saat dia masuk ke dalam mobil, orang-orangan sawah itu melambaikan lengannya.
Mobilnya kembali ke jalan tol, dan dia merasa terhibur mengetahui bahwa dia tidak meninggalkan sesama orang-orangan sawah sendirian, dan merasakan bahwa sawahnya di kampung telah menunggu kedatangannya.
Bandung, 2 Januari 2022
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI