Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

CMP 18: Hindia Jelita

15 Agustus 2021   09:47 Diperbarui: 15 Agustus 2021   09:51 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Village life in Sanur, W G Hofker (1902-1981) Sumber: zen.yandex.ru

Babak 2 Adegan 1 masih setengah jalan ketika pria di sebelahnya berkata, "Apakah kamu seorang pencuri? Karena kamu telah mencuri hatiku."

"Betulkah?" dia menjawab. "Itu rayuan terbaikmu?"

"Aku bersungguh-sungguh dengan cara yang ironis, sekaligus sebagai jebakan."

"Sungguh menyeramkan."

"Ssst," desis jengkel wanita dengan riasan tebal dan setumpuk perhiasan emas imitasi di kursi belakang. MAMMA MIA! di Teater Jakarta bisa menjadi sangat serius bagi snobis.

Pria itu menunggunya keluar dari toilet wanita. Bersandar di dinding marmer, sepatu kulitnya memantulkan cahaya lampu kristal. Dua gelas koktail berkaki kosong di tangannya.

"Bagaimana kalau kita melewatkan babak kedua? Minum di tempat lain?"

"Kamu tahu berapa yang aku keluarkan untuk tiket ini?"

"Ayolah. Aku akan menceritakan padamu bagaimana ending-nya."

Pria itu menyesap pink gin. Dia meneguk Heineken langsung dari botol.

"Apakah minuman itu juga ironis? Kamu tidak terlihat seperti metroseksual."

"Aku metroseksual di jiwa. Dan ngomong-ngomong, tidak ada lagi yang mengatakan metroseksual."

"Maksudmu aku di luar jangkauanmu, gitu?"

Pria itu mencabut payung kecil dari gelasnya, menyekanya dengan serbet putih, menyematkannya dengan lembut di rambut si wanita.

"Boleh aku tahu apa pekerjaanmu?" dia bertanya.

"Penjinak bom yang menyamar sebagai penulis novel."

"Aku balerina. Yuk, mampir ke apartemenku untuk ngopi."

***

Di lantai 33 Casa Grande, pria itu mempelajari lukisan gadis-gadis bertelanjang dada. Hofker. 

"Ini asli?"

Dalam lemari kaca di dinding, terpajang salah satu biola Guarneri.

"Luar biasa. Aku tidak menyangka penari balet bisa sangat kaya. "

"Katanya asli. Aku tidak bilang kalau aku membelinya."

"Salah satu dari sekian banyak pengagummu?"

"Aku pencuri, ingat?"

Pria itu menekan dada kirinya.

"Mana kopi yang kamu janjikan tadi?"

"Oh, itu cuma untuk membujukmu untuk mengantarku ke sini. Pria sepertimu butuh dirayu dengan kopi, atau, 'Datanglah ke apartemenku untuk melihat lukisan era Mooi Indie.'"

"Hindia Jelita terdengar lebih baik."

Pria itu duduk sofa. Si wanita berjongkok di depannya, tangan berada di pinggul sang pria, tidak cukup erat sebagai pelukan.

"Kamu belum menyebutkan namamu," katanya berbisik.

"Mahiwal," kata sang pria.

"Lucu," jawabnya, "sama seperti nama suamiku."

Mereka berciuman.

Bandung, 15 Agustus 2021

Sumber ilustrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun