Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mesin Kopi

30 Juli 2021   21:06 Diperbarui: 30 Juli 2021   21:09 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kamu terbangun dengan sakit kepala yang berdenyut dan rasa getir di mulut. Berguling dari tempat tidur dan terhuyung-huyung ke kamar mandi.

Meskipun kandung kemih hampir pecah, kamu berhenti di lemari obat terlebih dahulu dan meminum empat tablet aspirin dengan air mineral dari dispenser.

Kamu ke toilet dan buang air kecil, bersandar ke dinding di belakang toilet dengan satu tangan, gemetar.

Astaga! Malam yang luar biasa, pikirmu setelah mengosongkan kantung kencing.  Mungkin botol bir ketiga belas bukan ide yang bagus. Tentu saja, itu bukan salahmu. Bosmu bilang untuk jangan tanggung-tanggung meladeni klien yang itu, karena kesepakatan kontrak benar-benar harus kalian dapat, dan penjualanmu sangat rendah akhir-akhir ini.

Kamu tahu bahwa bos sangat membutuhkan kesepakatan ini lebih dari apa pun. Jadi, kamu melayani klien di restoran terbaik, klub terbaik, escort girl yang paling cantik yang dia inginkan. Berjam-jam melayani b*ngs*t gendut dengan busana norak dari ... dari mana dia? Oh, ya, di suatu tempat di Tiongkok  Daratan. Yah, setidaknya Tuan Tiongkok Daratan mungkin terbangun dengan sakit kepala yang lebih parah dari kamu.

Kamu kembali ke kamar tidur dan mengambil sarung, lalu mencoba berjalan lurus ke dapur.

Kopi, kamu butuh kopi.

Kamu mengisi mesin pembuat kopi dengan air, memasukkan bubuk kop dan menyalakan saklar.

Berjalan terhuyung-huyung ke pintu kaca geser, membukanya dan melangkah keluar di balkon, melihat ke jalan enam lantai di bawah. Pemandangan yang 'mewah', seperti yang dikatakan agen properti yang menawarkan unit partemen itu, di lokasi paling keren di Jakarta Timur.

Macam betul kali, pun.  

Gedung-gedung tetangga menjulang tinggi menghalangi sinyal ponsel dan siaran televisi. Jalan di bawahnya lebih seperti gang, dan perawatan menghabiskan banyak uang meskipun kamu jarang menghabiskan waktu di sini.

Uang sewa selangit merupakan salah satu alasan mengapa kamu harus menyedot orang-orang seperti Tuan Tiongkok Daratan.

Dengan kepala masih berdenyut-denyut, kamu bertanya-tanya untuk keseribu kalinya, bagaimana hidupmu seperti ini, meeting tanpa henti di kantor sepanjang hari, lalu berpesta setiap malam dengan orang-orang entah dari mana dengan biaya yang ditanggung perusahaan dari kota kecil mereka dan istri kota kecil mereka, di sini untuk bergabung di Megapolitan Jakarta bersamamu sebagai pemandu wisata pribadi mereka.

Kamu berbalik kembali ke apartemen untuk melihat apakah espressomu sudah jadi. Melihat notifikasi pesan suara masuk di ponsel. Oh, kamu lupa semalam membisukan nada dering mengubahnya menjadi mode getar.

Kamu menekan tombol 'Play'.

Iwan, ini Tanu. (Ada apa sih, bos?).

Aku tahu ini hari Sabtu, tetapi aku perlu tahu apa yang terjadi tadi malam (Sebaiknya aku minum kopiku dulu sebelum dingin).

Aku on the way ke ke kantor polisi untuk menyelamatkan Kho Liem (Kho Liem? Siapa Kho Liem? Oh, sh*t! Tiongkok Daratan!)

... sesuatu tentang pelacur dan bar karaoke, dan dia bilang polisi kalau kamu yang mengatur semuanya. Telpon aku secepatnya.

Kamu berdiri melongo menatap layar ponsel. Kepalamu sekarang benar-benar sakit.

Kamu memutar otak, memutar ulang kejadian semalam.

 ... Karaoke bar? Samar-samar, gambaran Kho Liem Tiongkok Daratan dengan mikrofon di tangannya muncul di ingatanmu. dan kamu tenggelam.

Kamu melirik mesin pembuat kopi dan menyadari bahwa tidak benda itu tidak menyeduh apa pun.  Tidak ada uap yang mengepul.

Kamu berjalan ke sana untuk menyalakan dan mematikannya beberapa kali. Tidak terjadi apa-apa. kamu memastikan kabelnya terpasang, menggedornya beberapa kali.

Nihil. Mati total.

Dua juta sekian yang telah kamu keluarkan untuk benda itu. Kamu menatapnya, lalu mencabut kabelnya dari stopkontak. Menggedong benda itu dan membawanya ke balkon, menjatuhkannya dari sisi luar pagar, lalu dengan tenang menunggu gaung suara benda itu pecah berantakan saat menghantam gang di bawah.

Tampaknya hidupnya akan berubah, dan sebaiknya kamu mulai berhenti mengonsumsi kafein.

Bandung, 30 Juli 2021

Sumber ilustrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun