Belahan jiwa.
Kita adalah jiwa-jiwa yang terbang melayang melalui kehampaan di atas batu yang berputar melalui ruang kosong yang tak berujung. Kita tak butuh lidah api atau Matahari untuk merasakan kehangatan atau kesejukan air telaga di tenggorokan.
Tidak, anakku. Kita manusia hanya saling membutuhkan.
Jadi jangan gunakan kepalamu untuk bertarung dalam pertempuran ini. Jangan biarkan dadamu dikuasai emosi atau amarahmu. Jangan gunakan kekuatan atau logikamu. Jangan gunakan tanganmu. Bahkan, jangan percaya pada kata hatimu. Meskipun jantungmu berdetak kencang semurni naluri hewan buas yang dipojokkan oleh kesepian dari keberadaan kita. Dan, seperti binatang buas yang tersudut berjuang untuk bertahan hidup, ketakutanmu tidak boleh menjadi senjatamu.
Tidak, anakku,
Inilah saatnya kamu mempercayai rasa sakitmu. Inilah saatnya kamu mempercayai kesepianmu. Percaya pada kerinduanmu akan belahan jiwa yang lain di dunia tandus gersang ini.
Dan percayalah bahwa dia juga akan merasakannya. Percayalah bahwa dia juga merasakan keterasingan dan pengabaianmu setajam kesepian yang kamu rasakan. Percayalah bahwa dia merasakan sakit sebanyak yang kamu rasakan karena merasakan kehilangan dia.
Musnahkan perasaan itu dan bercerminlah pada kehidupan yang dijalani oleh orang-orang di sekitar kita.
Percayalah bahwa semua merasakan kesakitan sepertimu. Percayalah bahwa kamu melukai mereka sama seperti kamu melukai dirimu sendiri, bahkan mungkin lebih lagi. Padahal, siapa pun yang telah merasakan cinta tertinggi, selayaknya harus mampu selamat dari titik nadirnya. Percayalah bahwa ketika kita jatuh di hadapan belahan jiwa, kita akan bisa bangkit untuk bersamanya.
Percayalah, anakku.
Kamu tidak sendirian dalam perang cinta yang tiada akhir ini. Kamu hanya kalah ketika kamu berhenti mencintai.
Jadi, anakku,Â
Jangan pernah berhenti mencintainya.
Jakarta, 26 Juni 2020