Pada 31 Desember 2024, Kementerian Keuangan Indonesia menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2024 yang mengatur penerapan pajak minimum global sebesar 15% bagi perusahaan multinasional dengan pendapatan tahunan global melebihi 750 juta euro. Kebijakan ini mulai berlaku pada tahun pajak 2025 dan merupakan bagian dari kesepakatan Pilar Dua yang digagas oleh G20 dan dikoordinasikan oleh OECD, didukung oleh lebih dari 140 negara
Apa Tujuannya?
Penerapan pajak minimum global bertujuan agar praktik penghindaran pajak  oleh Perusahaan multinasional dapat dicegah. Dengan adanya tarif ini, diharapkan terbentuknya sistem perpajakan yang lebih adil dan kompetisi yang sehat. Tentunya, pajak minimum global ini dapat mendorong transparansi dalam pelaporan keuangan dan perpajakan Perusahaan multinasional, sehingga tidak ada lagi celah untuk penghindaran pajak
Mekanisme Penerapan di Indonesia
Perusahaan multinasional yang memiliki tarif pajak efektif di bawah 15% akan diwajibkan membayar pajak tambahan (top-up) hingga mencapai tarif minimum tersebut. Pembayaran pajak tambahan ini harus dilakukan paling lambat pada akhir tahun pajak berikutnya. Sebagai contoh, untuk tahun pajak 2025, pembayaran harus diselesaikan paling lambat 31 Desember 2026. Selain itu, perusahaan diwajibkan menyampaikan laporan terkait pajak minimum global paling lambat 15 bulan setelah tahun pajak berakhir. Untuk tahun pertama penerapan, batas waktu pelaporan adalah 18 bulan.
Pemerintah Indonesia juga telah menyiapkan berbagai kebijakan pendukung guna memastikan penerapan pajak minimum global berjalan dengan efektif. Hal ini mencakup koordinasi dengan berbagai otoritas pajak internasional, penyempurnaan regulasi perpajakan domestik, serta peningkatan kemampuan  administrasi perpajakan untuk mengawasi kepatuhan perusahaan.
Dampak dan Tantangan
Dengan diterapkannya pajak minimum global di Indonesia, diharapkan pendapatan pajak akan meningkat serta menciptakan persaingan yang lebih setara bagi bisnis. Pemerintah akan dapat menggunakan peningkatan pendapatan pajak untuk mengembangkan infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan lebih lanjut. Selain itu, kebijakan ini akan lebih meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia di pasar global karena ada kepastian hukum yang lebih jelas bagi investor.
Namun, ada isu terkait penyesuaian regulasi domestik dan dampaknya yang diharapkan terhadap iklim investasi yang perlu dikelola. Adanya persyaratan pajak minimum akan membuat beberapa investor asing skeptis terhadap rencana investasi mereka. Hal ini membuat pemerintah perlu menghasilkan insentif tambahan untuk beberapa sektor strategis guna mempertahankan daya saing investasi langsung asing di negara ini. Beberapa opsi ini termasuk pengecualian pajak untuk industri berteknologi tinggi, hibah untuk investasi penelitian dan pengembangan, serta akses yang lebih mudah ke sumber daya bagi investor yang memenuhi syarat lainnya.
Selain itu, keberhasilan pajak minimum global sangat tergantung pada kolaborasi yang efektif antara negara-negara. Indonesia harus terus menjalin komunikasi dengan negara lain untuk memastikan bahwa kebijakan ini diimplementasikan dengan sedikit celah yang dapat dimanfaatkan oleh korporasi.
Kesimpulan