Mohon tunggu...
Dokter Avis
Dokter Avis Mohon Tunggu... Dokter Anak

Saya dr. Hafiidhaturrahmah namun biasa disapa Avis, dokter umum dari FK Univ Jenderal Soedirman, dokter anak dari Univ Gadjah Mada. Awardee Beasiswa LPDP-PPDS Angkatan 1. Saat ini bekerja di RS Harapan Ibu Purbalingga. Monggo main di blog saya www.dokteravis.net

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Wisata Mengunyah Cacing dan Kuda (2)

28 Maret 2012   08:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:22 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Wisata Mengunyah Cacing dan Kuda

(Edisi Nyale dan Pasola Sumba Part 2)

Saya menarik napas, membayangkan beratnya melihat bulan di bukit Wanokaka. Beruntung saat itu Ratih (mahasiswi jurusan fotografi ISI) yang menjalani.  Namun, kali ini karena penasaran dengan kelanjutan ritual pra pasola maka saya pun menyempatkan diri ke Wanokaka. Tiga hari setelah melihat bulan dan pantangan pun dilakukan, adat selanjutnya adalah pukul anjing . Jujur saya dapat bernapas lega karena kali ini ritualnya tidak dilaksanakan di bukit Sang Marapu.  Sebuah desa tempat bermulanya sejarah pasola yang dijadikan tempat adat pukul anjing. Saya bergidik membayangkan adat macam apalagi yang akan dilakukan ini.  Saya sudah pernah menyaksikan tikam babi, potong ayam, potong kambing hingga potong kerbau dan sapi dalam berbagai ritual adat Sumba namun pukul anjing jujur ini kali pertamanya. Saking bergidiknya saya lupa bahwa tas gendong yang saya bawa berwarna merah.

Saya baru ingat ketika Ratih mendadak pucat melihat warna tas punggung saya. Sialnya kesadaran itu muncul ketika para Rato sudah berkumpul untuk melaksanakan ritual.  Bodoh…saya memakia dalam hati karena melupakan hal penting seperti ini.  Dada saya bergemuruh, menanti hukuman apa yang akan diberikan padanya karena telah melanggar pamali walaupun saya hanya pendatang.

Beberapa cerita mendadak muncul dalam ingatan saya tentang bayaran yang harus diberikan jika melanggar pamali.  Biasanya hukuman berupa memberikan hewan entah hanya ayam, babi maupun yang lebih besar kepada pemuka adat.  Tergantung berat ringannya pamali yang dilanggar.  Harga ayam atau babi saja sudah cukup untuk membeli buku bagi para kurcacinya.  Otak saya mulai mengkonversikan nilai hukuman menjadi benda lain yang lebih berguna.

“Jangan takut Ibu…hari ini hari pukul anjing yang artinya pamali sudah gugur di hari ini” seketika saya dilanda perasaan lega tatkala Marapu termuda membaca kekhawatiran saya. Imam Marapu yang biasa dipanggil Rato merupakan warisan yang dipelajari turun menurun sehingga tidak heran jika lelaki di hadapannya yang seusia pelajar SMA ini sudah diangkat menjadi Marapu.

Ternyata bukan di rumah pinggir jalan tempat saya menitipkan motor acara adatnya.  Kami masih harus melewati sawah berlumpur hingga masuk ke kampung keramat. Saya bahkan terpaksa melepas sepatu karena khawatir terpeleset lumpur.  Bagaimana tidak, satu tangan memegang video sementara tangan lainnya membawa kamera. Untungnya tidak membutuh perjalanan jauh dan tanpa mendaki.

Saya pun memasuki kampung keramat dan adat pun dipersiapkan.  Piring berisi sirih pinang wajib hukumnya dalam setiap adat. Sang Rato pun kembali berdoa panjang dan saya sibuk dengan mengabadikan moment tersebut.  Saya salut bahwa dalam usia tidak muda, ingatan menghafalkan doa-doa yang konon tidak ada dalam bentuk tulisan tersebut tetap bertahan bahkan diturunkan.  Setelah berdoa, seorang lelaki mengambil sebuah karung yang dari awal diletakkan di ujung rumah alang.  Isinya adalah seekor anjing yang selama ini menjaga rumah mereka dari para pencuri hewan.  Ternyata anjing hebatlah yang dipilih untuk dipersembahkan kepada para arwah. Satu kayu berukuran besar berada di genggaman sang lelaki dan hanya dalam satu kali pukulan maka tidak terdengar lagi suara ribut si anjing.  Saya hanya melongo. Lagi-lagi adat aneh yang tidak masuk akal jika dicerna secara ilmiah. Adat memang tidak membutuhkan ilmiah.  Sama seperti kepercayaan bernama agama. Percaya, jalani, amalkan.

Setelahnya, tubuh anjing lalu dikeluarkan dari karung dan dipotong lehernya.  Saya dapat melihat bulir bening di tepi mata si anjing.  Menangis…hal yang masih tidak dapat saya jelaskan secara ilmiah mengapa tangisan masih dapat keluar di saat semua indera sudah mati.  Hanya dalam waktu singkat, anjing yang sudah terbakar sempurna berpindah ke tangan lelaki penjagal yang membagi sempurna semua tubuh anjing. Tidak lama, giliran saya mendapat kehormatan memotong ayam.  Bagian terakhir ini jujur sudah terlatih karena selama Sembilan bulan di pedalaman selalu berjibaku memotong ayam sendiri saat lidah ingin terpuaskan ayam goreng.

Pukul anjing selesai dengan makan bersama hasil potongan sembari mengobrol kisah muasal adat ini.  Konon kisah awal mula tradisi nyale dan pasola ini dimulai dari bangsawan Weiwang yang mempunyai tiga anak bernama Ngongu tau Matutu, Yagi Waikareri, dan Ubu Dulla.  Putra terakhirlah yang menorehkan tradisi ini ketika menikah dengan wanita bernama Rabu Kabba.  Dahulu kelaparan juga sudah melanda Sumba dan ketiga putra tersebut berinisiatif mencari bahan makanan.  Mereka berpamitan kepada warga kampung namun hanya mengatakan pergi mencari ikan.  Ketiganya tidak pernah kembali bahkan dikira sudah meninggal lantaran tertelan ombak laut. Sang istri pun lama menanti suaminya pulang namun tidak kunjung datang hingga muncul lelaki bernama Muhu Karera dari desa Kodi, desa tempat saya mengabdikan diri.

Lelaki tadi jatuh cinta kepada Rabu Kabba dan ternyata seiring dengan berjalannya waktu maka cinta itupun bersemi.  Kisah asmara pun dijalankan diam-diam karena takut ketahuan warga.  Keduanya pun nekat memutuskan untuk kawin lari menuju desa si lelaki.  Ayal tidak dapat ditolak, si suami pun datang merapat dengan kapal.  Ternyata ketiga bersaudara tersebut masih hidup.  Kaburnya sang istri dibawa lari lelaki lain membuat emosi si suami memuncak.  Kedatangan yang penuh amarah tersebut hingga kini masih diperingati dengan adat panjura, saling baku hantam antar pemuda.  Bukan kegiatan baku hantam sembarangan karena hanya pemuda yang merasa dirinya kuat saja yang dapat ikut.  Para pemuda akan menggenggam batu dan melilitkan daun pandan atau bahkan kain untuk mengingat kuat genggaman batu tersebut.  Tidak ada hitungan kalah menang karena yang ada ada baku hantam seperti permainan tinju.  Tidak boleh ada dendam setelah permainan ini jika ada yang mengalami luka hantaman serius.

Panjura menggambarkan kemarahan Ubu Dulla dan tanpa menunggu lama, dia menyusul si istri ke desa Kodi.  Ubu Dulla melihat cinta masih terpancar dari wajah si istri namun ketika meminta istrinya dikembalikan, si lelaki Kodi menolaknya.  Agar tidak terjadi pertumpahan darah maka Ubu Dulla berbesar hati menyerahkan istrinya namun meminta Muhu Karera membayar beilis.

Beilis merupakan pengganti susu ibu yang sudah diberikan untuk membesarkan anak gadisnya hingga siap dinikahi lelaki.  Beilis mirip dengan mahar atau seserahan namun ditentukan oleh pihak wanita.  Di beberapa bagian Sumba masih menganut beilis sejumlah ekor kerbau.  Bahkan jika wanita yang akan dinikahi berasal dari keluarga raja maka tidak jarang beilis dapat mencapai puluhan bahkan ratusan ekor kerbau.  Lelaki Kodi tadi pun mempersembahkan beilis berupa nyale yang langsung disukai oleh mantan suami.  Ritual pemberian nyale ini dikenal sebagai Teda Gaiparona. Sebagai balasan, Ubu Dulla meminta tradisi pasola juga dilaksanakan di Kodi.

Pasola sendiri berasal dari kata sola atau hola yang artinya sejenis lembing kayu. Awalan pa membuat arti sola menjadi semacam permainan ketangkasan saling melempar lembir kayu dari atas punggung kuda yang sedang dipacu kencang antara dua kelompok yang berlawanan.  Permainan perang dengan menunggang kuda ini sebagai simbol bahwa peperangan dapat terjadi jika kedua belah pihak tidak ada yang mengalah menggunakan akal pikirannya. Nyatanya, Ubu Dulla memberi contoh bahwa tidak semua masalah harus berakhir dengan peperangan walau tanpa disadari kedua desa ini mempunyai ikatan kebencian yang tidak pernah disalurkan.

Saya menghela napas panjang…merekam semua kisah adat dalam cerebellum dan berharap runtun ketika menjadi tulisan. Well…saya pun berlalu meninggalkan ritual pukul anjing.  Senin (12/03/12) akan dilaksanakan panjura tetapi jelas saya tidak dapat mengikuti.  Tenang, saya akan menghadirkan panjura melalui Ratih yang masih mengikuti seluruh ritual pra pasola.

***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun