Mohon tunggu...
Auliya Ahda Wannura
Auliya Ahda Wannura Mohon Tunggu... Penulis

Seorang Penulis freelance dan solo traveler.

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Cinta yang Membatasi: Dampak Overprotektif pada Anak Perempuan

7 September 2025   20:23 Diperbarui: 7 September 2025   20:27 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : Pinterest (https://pin.it/7eXmnvK7b)

Cinta yang Membatasi: Dampak Overprotektif pada Anak Perempuan

Kasih sayang seorang ayah pada anak perempuannya kerap dipandang sebagai wujud cinta paling tulus. Ia menjadi pelindung, pengayom, dan benteng yang menghadang hal buruk dari dunia luar.

Namun, ketika perlindungan itu berubah menjadi tembok yang terlalu tebal, lahirlah paradoks: cinta yang mengekang. Fenomena overprotektif ini nyata dalam banyak keluarga, terutama di budaya yang memandang anak perempuan sebagai "milik" ayah sampai tiba saatnya diserahkan pada suami. Pertanyaannya, apa dampak dari cinta yang membatasi ini terhadap perkembangan anak perempuan?

Perspektif Psikologi: Cinta, Kontrol, dan Kemandirian

Dalam psikologi perkembangan, salah satu kebutuhan dasar anak adalah autonomi, kesempatan untuk membuat pilihan, mengambil risiko, dan belajar dari konsekuensi.

Orang tua yang terlalu protektif seringkali menghambat kebutuhan ini. Mereka berangkat dari rasa takut: takut anak terluka, salah memilih pasangan, salah pekerjaan, atau terjerumus pada pergaulan. Namun, niat melindungi justru berbalik menjadi sumber kecemasan baru.

Anak perempuan yang tumbuh dengan kontrol berlebihan rentan mengalami social awkwardness, rasa rendah diri, hingga kesulitan membangun relasi sehat. Ia jarang berhadapan dengan situasi nyata, sehingga canggung saat harus berbicara di lingkungan sosial, atau merasa panik ketika menghadapi perbedaan nilai dengan orang lain. Akibatnya, begitu dewasa, ia bisa tampak "sempurna di rumah" tapi rapuh di luar.

Lebih jauh, penelitian menunjukkan bahwa overprotektif bisa menghasilkan dua kutub ekstrem: anak menjadi sangat patuh namun minim inisiatif, atau sebaliknya, melakukan pemberontakan drastis ketika sudah tidak tahan. Keduanya lahir dari ruang yang sama: hilangnya kebebasan untuk berproses secara alami.

Relasi Ayah dan Anak Perempuan dalam Psikologi

Dalam psikologi keluarga, hubungan ayah dan anak perempuan memiliki peran yang sangat khas dan berpengaruh terhadap perkembangan identitas anak. Ayah adalah figur pertama lawan jenis yang dikenal anak perempuan, sehingga cara ayah memperlakukan anaknya akan membentuk pola dasar bagaimana ia memandang diri sendiri, memahami dunia luar, hingga menjalin relasi dengan laki-laki di masa depan.

Ketika seorang ayah terlalu protektif, pola ini bisa menghasilkan dinamika berikut:

  • Attachment yang terlalu erat (enmeshment)
    Hubungan terasa dekat, hangat, dan penuh perhatian. Namun, kedekatan ini sering tidak diimbangi dengan batas yang sehat. Anak perempuan merasa dicintai, tapi sekaligus sulit bernapas. Ia bisa tumbuh dengan keyakinan bahwa cintanya hanya valid jika ia tetap "kecil" dan patuh.
  • Kemandirian yang terhambat
    Anak perempuan yang terus dijaga akan kesulitan mengembangkan self-efficacy, yaitu rasa percaya diri bahwa ia mampu menghadapi tantangan sendiri. Misalnya, ia takut mengambil keputusan besar tanpa restu, atau merasa panik saat dihadapkan dengan situasi asing.
  • Internalisasi rasa bersalah
    Banyak anak perempuan dengan ayah yang posesif merasa bersalah setiap kali ingin mandiri. Seolah-olah kebebasan adalah bentuk pengkhianatan terhadap cinta ayah. Perasaan ini bisa menimbulkan konflik batin: di satu sisi ingin bebas, di sisi lain takut melukai hati ayah.
  • Dampak pada relasi romantis
    Penelitian menunjukkan, anak perempuan dengan ayah yang sangat dominan sering kesulitan membangun relasi seimbang dengan pasangan. Ada yang mencari pasangan superprotektif seperti ayahnya, ada pula yang justru kesulitan mempercayai laki-laki karena terbiasa dengan kontrol berlebihan.

Dari sisi ayah, perilaku protektif ini sering dipicu oleh kecemasan laten: rasa takut kehilangan, rasa takut anak menderita, atau bahkan cerminan dari pengalaman masa mudanya sendiri. Dengan kata lain, ayah tidak hanya melindungi anaknya dari dunia luar, tetapi juga sedang "melindungi" dirinya sendiri dari bayangan ketidakpastian. Sayangnya, pola ini sering tidak disadari, dan akhirnya diwariskan turun-temurun.


Realitas Ayah dan Anak Perempuan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun