Hubungan ayah dan anak perempuan seringkali dibungkus dengan mitos budaya: ayah adalah penjaga utama, karena dunia dianggap sangat "berbahaya" bagi  perempuan. Maka, kontrol ayah yang ketat, mulai dari standar ketat pasangan hidup,  larangan bekerja di bidang tertentu, hingga mengatur urusan pergaulan, seringkali dinormalisasi. "Ayah lebih tahu mana yang terbaik," begitu kira-kira narasi yang diwariskan.
Namun, realitas modern menantang narasi ini. Anak perempuan masa kini menempuh pendidikan tinggi, menguasai teknologi, dan siap bersaing di dunia kerja. Jika ayah tetap menempatkan anaknya dalam sangkar perlindungan, muncul jurang antara potensi yang besar dengan ruang gerak yang terbatas. Pada titik ini, cinta ayah tidak lagi menjadi sayap, melainkan rantai.
Menariknya, banyak ayah sebenarnya sadar pada kontradiksi tindakannya. Ada ayah yang melarang anak pacaran beda agama, padahal ia sendiri menikahi pasangan yang awalnya berbeda keyakinan. Ada pula yang takut anak sakit di perantauan, padahal ia dulu merantau untuk menghidupi keluarga. Kontradiksi ini menunjukkan bahwa larangan sering lahir bukan dari logika konsisten, melainkan rasa cemas yang tidak pernah selesai.
Perspektif Filsafat: Kebebasan, Tanggung Jawab, dan Kepemilikan Diri
Filsuf eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre menekankan bahwa manusia pada hakikatnya adalah makhluk bebas. Kebebasan itu melekat, tetapi juga menuntut tanggung jawab. Dalam kerangka ini, anak perempuan berusia dua puluh dua tahun adalah subjek penuh: ia berhak menentukan jalan hidupnya, sekaligus menanggung konsekuensinya.
Namun, ketika orang tua terus memegang kendali, kebebasan anak dianggap berbahaya, seakan ia belum pantas memilikinya. Inilah yang disebut filsuf feminis Simone de Beauvoir sebagai othering: perempuan dipandang bukan sebagai subjek mandiri, melainkan "milik" orang lain, termasuk ayah, suami, atau masyarakat.
Cinta yang membatasi, dalam perspektif filsafat, adalah bentuk pengingkaran terhadap eksistensi anak sebagai individu. Ia disayangi, tapi tidak diakui. Diberi nafkah, tapi tidak diberi ruang memilih. Seolah hidupnya hanya bisa berjalan aman jika selalu dalam genggaman ayah.
Dampak Perkembangan: Antara Keterlambatan dan Kesempatan Kedua
Apa yang terjadi pada anak perempuan yang tumbuh dalam cinta overprotektif? Ia mungkin terlambat dalam hal pengalaman sosial. Di usia ketika teman-temannya sudah terbiasa bernegosiasi dalam pergaulan, mencoba pekerjaan, atau membangun relasi romantis, ia masih canggung, bahkan merasa asing.
Namun, keterlambatan ini tidak berarti kegagalan total. Justru ada kelebihan unik: ia memasuki dunia sosial dengan kesadaran lebih matang, tidak semata ikut arus. Jika ia mau melatih diri, setiap langkah kecil, seperti ikut komunitas, kerja part-time, atau sekadar nongkrong pun bisa menjadi ruang belajar yang lebih bermakna. Dalam hal ini, keterlambatan bukan akhir, melainkan "kesempatan kedua" untuk tumbuh dengan arah yang lebih sadar.
Menemukan Titik Tengah
Cinta yang membatasi seharusnya tidak dibiarkan terus-menerus. Orang tua perlu belajar melepas, anak perlu berani melangkah. Tidak berarti memutus hubungan, tapi membangun pola baru: cinta yang memberi ruang. Seorang ayah bisa tetap menjadi pelindung, namun tanpa merampas otonomi anak perempuannya. Sebaliknya, anak perempuan bisa tetap menghormati, sambil perlahan menunjukkan kapasitasnya sebagai individu dewasa.
Pada akhirnya, cinta yang sehat adalah cinta yang mempercayai. Perlindungan sejati bukanlah memenjarakan, melainkan membekali. Seorang anak perempuan tidak butuh sangkar emas, melainkan sayap yang membuatnya terbang, meski terkadang sayap itu bergetar, dan angin di luar tak selalu ramah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI