Revisi UU No. 3 Tahun 2006 menambahkan kewenangan baru yang sangat penting, yaitu ekonomi syariah. Dengan adanya perluasan ini, peradilan agama kini memiliki kewenangan untuk menangani sengketa di bidang perbankan syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, lembaga pembiayaan syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah, serta surat berharga syariah. Hal ini menjadikan peradilan agama semakin relevan dalam menghadapi kebutuhan modern umat Islam.
Penulis menguraikan bahwa ekonomi syariah merupakan sektor yang berkembang sangat pesat. Lahirnya berbagai bank syariah, koperasi syariah, hingga instrumen investasi syariah membutuhkan kepastian hukum agar setiap transaksi berjalan sesuai prinsip Islam. Tanpa adanya lembaga yang khusus menangani sengketa ekonomi syariah, maka penyelesaiannya akan kabur dan berpotensi tidak sesuai dengan prinsip keadilan Islam. Oleh karena itu, kehadiran peradilan agama dengan kewenangan ini sangat krusial.
Selain itu, penulis juga menjelaskan rekonstruksi terminologi dari "perkara perdata tertentu" menjadi "perkara tertentu" dalam UU No. 50 Tahun 2009. Perubahan satu kata ini sangat penting, karena membuka ruang bagi peradilan agama untuk tidak hanya terbatas pada perdata, tetapi juga mungkin menjangkau ranah hukum lain di masa depan.
Dalam bab ini, penulis memberikan analisis bahwa perkembangan materi perkara peradilan agama menunjukkan adanya fleksibilitas hukum Islam. Hukum Islam tidak kaku, melainkan dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat. Misalnya, fikih klasik tidak mengenal reksa dana syariah atau obligasi syariah, tetapi dengan ijtihad ulama kontemporer, instrumen-instrumen tersebut bisa dikategorikan sesuai dengan prinsip syariah. Peradilan agama kemudian hadir sebagai penegak keadilan dalam ranah tersebut.
Penulis juga menyinggung prospek di masa depan, di mana tidak menutup kemungkinan peradilan agama akan memiliki kewenangan dalam bidang pidana khusus berbasis syariah. Hal ini tentu membutuhkan kajian mendalam, baik secara hukum Islam maupun hukum nasional. Namun, penulis menegaskan bahwa kecenderungan perkembangan masyarakat Muslim menunjukkan adanya kebutuhan terhadap perluasan kewenangan tersebut.
Dengan uraian ini, Bab V memperlihatkan bahwa peradilan agama bukan hanya lembaga statis, tetapi lembaga yang terus berkembang dan beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat. Perluasan materi perkara adalah bukti nyata bahwa hukum Islam mampu memberikan jawaban bagi problematika kontemporer.
Salah satu kelebihan dari buku Fikih Peradilan Agama di Indonesia adalah pembahasannya yang sangat komprehensif. Penulis berhasil menyajikan uraian luas mengenai perjalanan peradilan agama, mulai dari sejarah sosial, teori pemberlakuan hukum Islam, hingga regulasi dan prospek pengembangannya di masa depan. Buku ini juga memiliki kekuatan karena mampu menghubungkan antara fikih klasik dengan hukum nasional, sehingga pembaca dapat melihat bagaimana hukum Islam yang bersumber dari syari'ah bisa diakomodasi dalam kerangka hukum positif Indonesia. Landasan regulasi yang digunakan juga sangat kuat, misalnya dengan menguraikan secara detail Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, serta Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjadi pedoman penting bagi hakim peradilan agama. Dari segi penyajian, buku ini disusun secara sistematis dengan bahasa akademis yang jelas, sehingga pembaca dapat mengikuti alur pemikiran penulis secara runtut. Kelebihan lain yang sangat menonjol adalah relevansi buku ini terhadap isu-isu kontemporer, karena tidak hanya membahas perkara klasik seperti perkawinan dan waris, tetapi juga merambah ke bidang modern seperti ekonomi syariah, yang kini menjadi kebutuhan penting dalam masyarakat.
Namun demikian, buku ini juga memiliki beberapa kekurangan. Salah satunya adalah gaya bahasa yang terlalu akademis sehingga terasa berat bagi pembaca awam atau bagi mereka yang tidak memiliki latar belakang ilmu hukum. Banyak istilah hukum dan teori yang digunakan tanpa penjelasan sederhana, sehingga membutuhkan pemahaman awal sebelum bisa dicerna dengan baik. Selain itu, buku ini lebih banyak menitikberatkan pada aspek yuridis dan regulasi, sementara konteks sosial dan budaya masyarakat dalam penerapan hukum Islam kurang dieksplorasi secara mendalam. Padahal, dinamika sosial memiliki peran besar dalam memengaruhi bagaimana hukum Islam dipraktikkan di Indonesia. Kekurangan lain adalah minimnya contoh kasus praktis dari putusan peradilan agama. Jika penulis menyajikan lebih banyak studi kasus konkret, pembaca akan lebih mudah memahami penerapan teori dalam praktik nyata. Buku ini juga cenderung fokus pada hukum keluarga dan ekonomi syariah, sementara bidang hukum Islam lainnya, seperti hukum pidana Islam atau tata negara Islam, kurang mendapat perhatian.
Membaca buku Fikih Peradilan Agama di Indonesia memberikan banyak inspirasi yang berharga. Pertama, buku ini mengajarkan bahwa hukum Islam bukanlah sesuatu yang statis, melainkan sistem yang dinamis dan selalu berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman. Perjalanan panjang peradilan agama, mulai dari masa kesultanan hingga era modern, menunjukkan ketangguhan hukum Islam dalam menghadapi berbagai tantangan, baik dari kolonialisme maupun dari perkembangan masyarakat modern. Hal ini memberi inspirasi bahwa setiap sistem hukum, termasuk hukum Islam, harus mampu beradaptasi tanpa kehilangan prinsip dasarnya.
Kedua, buku ini menginspirasi tentang pentingnya konsistensi dan perjuangan. Meskipun pada masa kolonial Belanda kewenangan peradilan agama dibatasi, lembaga ini tetap bertahan karena adanya legitimasi sosial dari umat Islam. Ketahanan inilah yang kemudian membuat peradilan agama mendapat pengakuan formal setelah Indonesia merdeka. Dari sini, saya belajar bahwa perjuangan mempertahankan sesuatu yang diyakini benar memerlukan konsistensi, dukungan sosial, dan kerja keras.
Ketiga, inspirasi lain yang muncul adalah kesadaran bahwa hukum Islam tidak hanya mengatur persoalan keluarga, tetapi juga mampu menjawab tantangan kontemporer seperti ekonomi syariah. Kehadiran kewenangan peradilan agama dalam menangani sengketa ekonomi syariah membuktikan bahwa hukum Islam bisa masuk ke ranah modern dan relevan dengan kebutuhan umat. Hal ini memotivasi saya untuk tidak melihat hukum Islam sebagai sesuatu yang kuno, tetapi justru sebagai sumber solusi bagi problematika masyarakat saat ini.