Pada era modern, peradilan agama memiliki kewenangan yang semakin luas dan kedudukan yang semakin kokoh. Peradilan agama kini menangani berbagai perkara, mulai dari perkawinan, waris, hibah, wasiat, wakaf, zakat, infak, sedekah, hingga ekonomi syariah. Perkembangan ini menunjukkan bahwa peradilan agama bukan hanya lembaga yang menangani urusan tradisional keluarga, tetapi juga telah merambah ranah ekonomi dan keuangan modern.
Perluasan kewenangan ini menjadi bukti bahwa hukum Islam mampu beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat kontemporer. Bahkan, tidak menutup kemungkinan di masa depan, peradilan agama akan menangani perkara pidana tertentu yang terkait dengan hukum Islam, misalnya dalam ranah keuangan atau transaksi digital berbasis syariah.
Eksistensi peradilan agama di Indonesia juga menjadi contoh bagaimana hukum agama dapat diintegrasikan ke dalam hukum nasional tanpa mengurangi prinsip kebinekaan. Peradilan agama tidak hanya eksis sebagai lembaga formal, tetapi juga sebagai wujud perlindungan negara terhadap umat Islam agar dapat menjalankan keyakinannya sesuai syari'at. Kancah perkembangan politik di Indonesia, terjadi rekonstruksi politik muncul dan dapat dibagi dalam tiga dekade: (1) rekonstruksi pada masa berlakunya sistem demokrasi liberal parlementer yang dimulai setelah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 sampai dikeluarkannya Dekrit Presiden Republik Indonesia tanggal 5 Juli 1959; (2) rekonstruksi politik pada masa demokrasi terpimpin yang dimulai tahun 1959 sampai tahun 1966; (3) rekonstruksi politik pada masa demokrasi Pancasila sejak 1966 sampai sekarang.3 Sistem demokrasi Pancasila merupakan demokrasi konstitusional dengan menonjolkan sistem presidensial.4 Pergolakan politik semakin gencar termasuk materinya adalah pengembangan hukum Islam di Indonesia.
Membahas mengenai perjalanan Peradilan Agama yang telah dilalui dalam rentang waktu yang demikian panjang berarti pada dasarnya harus berbicara tentang masa lalu yakni sejarah Peradilan Agama di Indonesia. Pembahasan tersebut dianggap perlu untuk merencanakan dan melangkah ke arah masa yang akan datang, sekaligus menghindari pengulangan sejarah yang pahit pada masa lalu dan seyogyanya menghindarkan diri dari perbuatan yang dapat mencelakakan bangsa Indonesia sendiri, terutama kaum muslim Indonesia.
Bab keempat dalam buku Fikih Peradilan Agama di Indonesia membahas secara khusus arah perkembangan peradilan agama di masa kini dan masa depan. Penulis menguraikan bahwa keberadaan peradilan agama tidak bisa dilepaskan dari politik hukum nasional. Politik hukum ini adalah kebijakan negara dalam menentukan bagaimana hukum Islam diberlakukan, diakomodasi, atau bahkan dibatasi dalam sistem hukum nasional.
Salah satu hal penting yang dibahas adalah teori pemberlakuan hukum Islam. Penulis menyinggung bagaimana hukum Islam di Indonesia sempat diperdebatkan melalui berbagai teori, mulai dari teori receptio in complexu yang menganggap umat Islam otomatis tunduk pada hukum Islam, hingga teori receptie yang menundukkan hukum Islam di bawah hukum adat. Namun, perkembangan terakhir menunjukkan adanya teori eksistensi, yang menegaskan bahwa hukum Islam merupakan bagian dari hukum nasional yang keberadaannya tidak bisa diabaikan.
Bukti kuat dari keberterimaan hukum Islam dalam sistem hukum nasional adalah lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada tahun 1991. KHI lahir sebagai instrumen unifikasi hukum keluarga Islam di Indonesia. Melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, KHI menjadi pedoman hakim peradilan agama dalam memutus perkara. Kehadiran KHI membuktikan bahwa hukum Islam tidak hanya berlaku secara sosial, tetapi juga sudah menjadi hukum positif. Meskipun tidak setara dengan undang-undang, posisi KHI sangat penting karena menjadi dasar praktik peradilan.
Selain itu, penulis menjelaskan bahwa prospek peradilan agama semakin cerah di masa depan. Hal ini karena meningkatnya kesadaran umat Islam terhadap hukum syariah, terutama dalam bidang ekonomi. Umat Islam tidak hanya menghendaki hukum syariah dalam urusan perkawinan dan waris, tetapi juga dalam transaksi keuangan, bisnis, bahkan dalam aspek keseharian yang lebih luas. Hal ini mendorong peradilan agama untuk mempersiapkan diri, baik dari segi regulasi, sumber daya manusia, maupun perangkat hukum.
Penulis menegaskan bahwa masa depan peradilan agama sangat dipengaruhi oleh tiga faktor utama: politik hukum nasional, kebutuhan masyarakat, dan kesiapan institusi peradilan agama itu sendiri. Jika politik hukum nasional terus memberikan ruang, kebutuhan masyarakat terus meningkat, dan institusi peradilan agama mampu berbenah, maka tidak mustahil peradilan agama akan menjadi salah satu pilar utama dalam penegakan hukum di Indonesia. Bahkan, penulis melihat bahwa di masa depan, peradilan agama dapat memperluas kewenangannya pada bidang-bidang baru yang saat ini belum masuk dalam ranah yuridisnya.
Dengan demikian, bab ini memberikan gambaran bahwa peradilan agama bukan hanya fenomena historis, tetapi juga lembaga yang memiliki prospektif kuat untuk menjadi motor keadilan hukum Islam di Indonesia.
Bab kelima merupakan salah satu bagian terpenting dalam buku ini, karena di sinilah penulis membahas secara rinci mengenai rekonstruksi dan perluasan kewenangan peradilan agama. Semula, berdasarkan UU No. 7 Tahun 1989, kewenangan peradilan agama terbatas pada perkara perdata tertentu: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, dan sedekah. Namun, seiring berjalannya waktu, perkembangan sosial-ekonomi umat Islam menuntut adanya penyesuaian.