Mohon tunggu...
Aulia Rafika
Aulia Rafika Mohon Tunggu... Mahasiswa Fakults Syariah Uin Raden Mas Said Surakarta

allahumma yassir wala tu'assir

Selanjutnya

Tutup

Hukum

REVIEW BOOK "Fikih Peradilan Agama di Indonesia" (Rekonstruksi Materi Perkara Tertentu)

8 Oktober 2025   22:06 Diperbarui: 8 Oktober 2025   22:06 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam konteks Indonesia, penulis menguraikan bahwa kemajemukan sistem hukum yang terdiri atas hukum adat, hukum Barat, dan hukum Islam bukanlah sesuatu yang melemahkan, tetapi justru memperlihatkan kekayaan bangsa. Sistem hukum plural ini kemudian diakomodasi dalam konstitusi, sehingga setiap sistem hukum mendapat ruang untuk berkembang. Khusus bagi umat Islam, keberadaan peradilan agama adalah manifestasi dari pengakuan negara terhadap hukum Islam. Dengan demikian, peradilan agama tidak bisa dipandang sebagai lembaga tambahan, tetapi merupakan bagian integral dari struktur hukum Indonesia.

Penulis juga menyoroti pentingnya teori-teori pemberlakuan hukum Islam sebagai gambaran bagaimana posisi hukum Islam diperdebatkan sepanjang sejarah. Teori receptio in complexu menegaskan ketaatan penuh umat Islam terhadap hukum Islam, sementara teori receptie yang lahir dari Snouck Hurgronje cenderung melemahkan posisi hukum Islam dengan menyatakan bahwa hukum Islam baru berlaku jika sesuai dengan hukum adat. Teori ini jelas menunjukkan adanya intervensi kolonial dalam membatasi ruang gerak hukum Islam. Namun, perkembangan berikutnya melahirkan teori eksistensi yang menegaskan bahwa hukum Islam adalah bagian sah dari hukum nasional tanpa harus melalui filter hukum adat. Teori ini menjadi tonggak penting dalam memperkuat legitimasi hukum Islam di Indonesia, terutama dalam ranah peradilan agama.

Dengan uraian ini, bab pendahuluan memberikan pemahaman bahwa peradilan agama di Indonesia bukan sekadar fenomena formal, melainkan hasil dari perjalanan panjang hukum Islam yang dipengaruhi faktor sejarah, sosial, politik, dan hukum negara. Peradilan agama memiliki basis yang kuat untuk eksis karena didukung oleh tiga pilar penting: sejarah Islam yang panjang, kebutuhan sosial umat, dan pengakuan yuridis dari negara. Oleh karena itu, keberadaan peradilan agama di Indonesia merupakan wujud nyata dari dinamika hukum Islam yang selalu mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman sekaligus tetap menjaga nilai-nilai dasar syari'ah.

Pada bab kedua ini, penulis membedakan antara syari'ah dan fikih. Syari'ah adalah aturan yang bersumber dari wahyu Allah dan Sunnah Rasul, sedangkan fikih adalah hasil pemahaman manusia terhadap syari'ah yang sifatnya dinamis. Syari'ah bersifat absolut dan tidak berubah, sementara fikih bisa berkembang sesuai kondisi sosial dan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, hukum Islam di Indonesia tidak bisa dipandang semata sebagai ajaran agama, tetapi juga sebagai hukum positif yang berlaku di peradilan agama.

Penulis menekankan bahwa hukum Islam hadir dalam berbagai produk: fikih klasik, fatwa ulama, yurisprudensi, dan undang-undang. Di Indonesia, semuanya telah menjadi bagian dari sistem hukum nasional. Bahkan, lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan bukti bahwa hukum Islam tidak hanya dipraktikkan secara sosial, tetapi juga diformalkan menjadi rujukan hakim. Buku ini menunjukkan bahwa hukum Islam di Indonesia tidak terlepas dari proses adaptasi dan pembaruan agar sesuai dengan konteks bangsa yang plural.

Bab II juga menyoroti peran penting lembaga-lembaga Islam dalam mendorong formalisasi hukum Islam di Indonesia. Kontribusi organisasi besar seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama menjadi salah satu faktor utama berkembangnya pemikiran hukum Islam di tanah air. Muhammadiyah dengan pendekatan ijtihad modernnya berupaya memurnikan ajaran Islam dan menyesuaikannya dengan kebutuhan zaman. Sedangkan Nahdlatul Ulama lebih menekankan pada tradisi fikih klasik yang bersandar pada kitab-kitab turats, namun tetap membuka ruang adaptasi dengan realitas sosial masyarakat Indonesia. Perbedaan corak ini justru memperkaya wajah hukum Islam di Indonesia yang plural dan dinamis.

Selain peran organisasi Islam, negara juga memiliki kontribusi yang sangat besar. Lahirnya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menjadi tonggak penting yang menguatkan kedudukan hukum Islam dalam ranah perkawinan. UU ini tidak hanya mengatur secara umum, tetapi juga memberi pengakuan khusus terhadap hukum perkawinan Islam. Selanjutnya, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) semakin mempertegas bahwa hukum Islam bukan sekadar norma sosial, melainkan juga pedoman yuridis yang mengikat di peradilan agama. Dengan KHI, hakim peradilan agama memiliki rujukan yang lebih jelas dalam menyelesaikan perkara keluarga umat Islam.

Penulis juga menekankan bahwa hukum Islam di Indonesia lahir dari interaksi antara teks syari'ah, tradisi lokal, serta kebutuhan kebangsaan. Inilah yang menjadikan hukum Islam di Indonesia memiliki ciri khas tersendiri. Tidak sekadar menyalin fikih klasik dari Timur Tengah, tetapi dikontekstualisasikan sesuai dengan kondisi masyarakat Nusantara yang majemuk. Hal ini membuat hukum Islam di Indonesia tampil dengan wajah moderat, adaptif, namun tetap berpegang pada nilai-nilai pokok syari'ah.

Pada bab ketiga ini, penulis menjelaskan bahwa Eksistensi peradilan agama di Indonesia merupakan sebuah perjalanan panjang yang sarat dengan dinamika sejarah, politik, dan sosial. Dalam buku ini, penulis menjelaskan bahwa peradilan agama tidak lahir secara tiba-tiba, tetapi melalui proses evolusi yang panjang dari masa kesultanan Islam di Nusantara, masa kolonial Belanda, masa kemerdekaan, hingga era modern. Perjalanan panjang ini menunjukkan bahwa hukum Islam, khususnya yang berkaitan dengan keluarga, waris, dan kini ekonomi syariah, selalu hidup dalam masyarakat Muslim Indonesia dan pada akhirnya memperoleh pengakuan formal dari negara. Ada beberapa fase yakni:

Fase Kesultanan

Pada fase ini, sebelum kedatangan kolonial, peradilan agama berada di bawah kekuasaan politik Islam tradisional. Sultan, raja, dan ulama memiliki otoritas besar dalam menegakkan hukum Islam. Peradilan agama saat itu tidak dipisahkan dari otoritas kerajaan, melainkan menjadi bagian integral dari pemerintahan Islam. Persoalan seperti perkawinan, talak, rujuk, kewarisan, hibah, dan wakaf semuanya diselesaikan oleh qadhi atau ulama yang ditunjuk oleh raja. Hal ini menunjukkan bahwa hukum Islam menjadi hukum yang hidup di tengah masyarakat Muslim Nusantara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun