"Terus kenapa mindahin jenazahnya jauh banget? Sampe sekiloan? di pinggir jalan berbatu? Supaya bisa diliat orang?" tanya Sigit.
"Supaya bisa diliat orang dan supaya jenazahnya gak di tempat becek ndan, kasihan, teh Evha mah orang baik, selalu bayar lebih kalo jajan. Saya nyesel banget abis mindahin jenazahnya teh Evha, tapi saya gak tahu harus gimana" kata Mamat kembali menangis
"Trus kenapa kalungnya Evha, ada di rumahnya Pak Mamat?" tanya Sigit sambil menunjuk foto kalung inisial E milik Evha.
"Besok paginya, pas saya balik ke kebon, saya ngeliat kalung itu di kebon saya. Saya mau taruh di deket jenazahnya teh Evha, tapi orang kampung udah pada rame, nemuin jenazahnya teh Evha. Udah ada polisi di situ. Trus saya simpen, sapa tahu nanti ada yang nyari nanti" jawab Mamat.
Setelah mendengar cerita panjang Mamat, Sigit hanya bisa mengeleng-gelengkan kepala, kemudian mendongakan kepanya sambil memejamkan mata dan menghela nafas panjang.
***
7 Hari yang lalu, Jumat 8 Juni 2018
Satu hari setelah Sigit mewawancarai Beni, Sigit mewawancarai tersangka berikutnya. Seorang pria berkemeja muslim lengan panjang warna hitam, dengan potongan rambut, jenggot dan kumis yang rapih duduk di ruangan yang sama. Ia terlihat duduk dengan sikap yang santun dan tenang, terlihat kalung dengan inisial O melingkar di lehernya.
Sigit membuka pintu ruangan, membawa binder besarnya, duduk di hadapan pria tersebut. "Pertama-tama, saya turut berbelasungkawa atas meninggalnya, Evha Permata, Pak Taufik" kata Sigit. Taufik diam saja, hanya mengangguk pelan
"Sudah lama, pak Taufik mengenal Evha?" tanya Sidik sambil mengeluarkan 2 foto dari binder yang ia bawa dan meletakannya terbalik di depan Taufik.
"Saya mengenal Evha sejak 5 tahun lalu, dan kami berpacaran sejak 3 tahun lalu" jawab Taufik sangat tenang. "Hampir 4 tahun" tambah Taufik.