Mohon tunggu...
Asyifa Rowdhotul Jannah
Asyifa Rowdhotul Jannah Mohon Tunggu... Mahasiswa

If you want, then you can.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Jika Memori Tak Mau Tidur: Perjalanan Berdamai dengan Diri Sendiri

26 Juli 2025   14:59 Diperbarui: 26 Juli 2025   14:59 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari semua bentuk perdamaian, yang paling sulit adalah berdamai dengan diri sendiri

Suatu hari, aku mengakhiri hari dengan bayangmu yang kembali menghampiri. Memutar kembali memori yang sudah kutekan ke dalam dasar hati, berharap tak mengambang ke permukaan lagi. Ditemani sunyi, memori itu dengan bebas berputar di pikiranku, seolah memaksa untuk diingat kembali. Hingga akhirnya aku tertidur sendiri. 

Saat terbangun di pagi hari, kukira memori-memori itu telah "tertidur" kembali. Tak lagi memberontak saat malam nanti. Namun, ternyata aku salah. Memori itu hanya tidur, bisa bangun kapan saja dan memberontak lagi untuk diingat kembali. 

Sadarkah apa alasan memori itu terus memberontak meminta diingat? Ya, karena diri ini belum berdamai. Berdamai dengan memori-memori itu. Aku membuatnya tertidur, tapi lupa memberi tahunya alasan mengapa harus tidur.

Damai berarti tenang. Tanpa keributan, tanpa pemberontakan, dan tanpa paksaan. Lalu, sudahkah aku berdamai dengan diri sendiri jika memori itu masih terus memberontak?

Aku menciptakan harapan tentang suatu hal. Memupuk ekspektasi dalam pikiran. Sibuk membayangkan betapa bahagianya saat yang kuharapkan jadi kenyataan. Tapi, aku melupakan satu hal bahwa yang paling berpotensi untuk menyakiti adalah harapan itu sendiri. Aku terlalu bahagia sampai lupa memikirkan kemungkinan terburuknya. Lalu, saat hasil yang kudapat tak sesuai harapan akupun merasa tak terima, marah, menyalahkan takdir mengapa tak membersamaiku. Padahal salahku, sejak awal tak memasang perisai, tak memasang pembatas, tak memasang tembok dari hancurnya harapan.

Setelahnya, bagaimana cara berdamai? Bagaimana caranya tenang untuk hidup berdampingan dengan kenyataan? Mampukan aku keluar dari lubang hitam kegagalan? 

Menurutku, tak ada yang salah dari menanam harapan. Hidup memang tempatnya berharap, tapi letakkanlah harapanmu pada tempat yang tepat. Dan jangan lupa memasang pagar agar tak mati saat gagal menghampiri. Sisakan ruang untuk menerima, sisakan ruang untuk menyadari, dan sisakan ruang untuk kembali. 

Jika harapanmu akan suatu hal gagal, maka yakinilah bahwa bukan berarti takdir-Nya tak berdiri di pihakmu. Bisa jadi, kamu diberi gagal hari ini, dipatahkan harapannya saat ini, adalah untuk harapan dan mimpi yang lebih tinggi esok hari dengan persiapan yang lebih mumpuni sehingga tercapai segala mimpi. 

Kalau gagal, maka cobalah berdamai. Bagaimana caranya? Hiduplah berdampingan dengan kegagalanmu tanpa menyalahkan diri sendiri, tanpa menyesali, dan tanpa menangisi. Menerima memang bukan perkara mudah. Tapi boleh jadi kamu diberi gagal karena mendapatkannya sekarang tak menciptakan kebaikan, mendapatkannya sekarang tak membuatmu berkembang, dan mendapatkannya sekarang mungkin akan membuatmu lupa akan Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun