Aku selalu ingin menciptakan lingkungan yang baik di sekitarku. Berkomunikasi dengan baik dan benar dengan banyak orang. Di luar rumah, aku berusaha sebaik mungkin untuk tidak menggunakan nada tinggi sama sekali, meredam emosi dalam diri, dan menjalin hubungan yang baik dengan semua orang demi menghindari pertikaian. Â Namun, kenapa saat di rumah aku selalu seperti orang yang berbeda, ya?
Emosiku sulit diatur, selalu meledak-ledak. Kesalahan kecil saja terasa begitu besar di mataku. Aku tak bisa menahan kata-kata yang terlontar dari mulutku, nada suara yang kukeluarkan, dan suasana hati yang rasanya sangat berantakan. Aku seperti kehilangan diriku yang tenang saat aku di rumah. Padahal katanya, rumah adalah tempat ternyaman, kan?
Bukan karena orang tua yang sering bertengkar, ini hanya karena suaraku yang jarang di dengar. Akupun sering bertanya pada diri sendiri, mengapa sikapku buruk sekali di hadapan orang-orang di rumah yang sangat menyayangiku?, nyatanya aku tak pernah bermaksud kasar, namun ada luka yang semakin dalam dan sialnya selalu berdarah di hadapan kalian.
Aku paham bahwa orang-orang yang ada di rumah yang sama denganku tentu sangat menyayangiku dan selalu menginginkan yang terbaik untukku. Tetapi, aku tak mengerti apakah mereka salah dalam mengekspresikan rasa sayangnya atau aku yang tak memahami keinginan mereka? Mungkin hanya tentang sudut pandang yang berbeda, tapi sayangnya diriku sudah terluka.
Satu inginku yang tak kudapat hingga kini, aku ingin di dengar. Kalian selalu bilang padaku bahwa hidupku tergantung pilihanku. Lantas kapan aku diberi hak untuk memilih jalanku? Tiap kali aku mengutarakan pikiranku, bagi kalian hanya seperti angin lalu. Aku tetap harus mengikuti inginmu. Aku tahu, aku paham dengan jelas bahwa semua inginmu adalah yang terbaik untukku. Namun, bisakah sekali saja beri aku kesempatan untuk mengikuti hatiku? Bisakah jangan selalu menganggap salah pikiranku? Kalau aku gagal atas apa yang engkau pilih, katanya itu salahku karena kurang berusaha. Kalau aku berhasil, kau bilang karena doamu, bukan karena usahaku. Lalu, bagaimana caraku untuk percaya pada diriku sendiri? Sebenarnya, jauh di belakang sana aku sudah kehilangan diriku sendiri.Â
Karena hal itu, aku tumbuh dengan perasaan takut. Takut kalau pendapatku salah, takut tak didengar, takut mencoba, dan takut mendapat kegagalan. Aku sulit keluar dari zona nyamanku. Aku takut mencoba hal baru. AKu takut untuk mengutarakan isi pikiranku. Dan lagi-lagi, semua itu adalah salahku. Kau bertanya, kenapa aku tak pernah bilang padamu tentang apa saja yang aku alami. Tapi aku memilih diam. Karena aku tau, percakapan antara kau dan aku hanya akan berakhir dengan teriakan dan saling salah-menyalahkan, saling diam, lalu esoknya berjalan seperti tak ada hal yang terjadi kemarin. Tanpa kata maaf, tanpa ada obat untuk hatiku yang terluka. Wajar saja lukanya terus menganga bersama aku yang tumbuh dewasa. Kau melukaiku, tapi kau tak pernah sadar hal itu.
Lain dari hal itu, aku juga ingin mendengar pujian dari orang di rumahku. Aku ingin perasaanku di validasi olehmu. Karena apa yang kuusahakan selama ini, hanya agar bisa menyenangkan hatimu. Aku ingin seperti orang di luar sana, yang sering diberi "selamat" oleh orang di rumahnya, yang sering diakui perasaannya. Tak bisakah kita? Aku tau, usahaku masih tertingaal jauh dari orang lain, mungkin hasilnya masih belum maksimal untukmu, namun percayalah, aku sudah berusaha sebisaku. Dulu, aku pernah bercerita padamu tentang apa yang kuperoleh hari ini dengan hati yang rasanya bertaburan bunga, berharap kaupun sama setelah mendengarnya. Tapi jawabmu, "jangan terlalu senang, nggak boleh sombong, masih ada orang lain di atasmu."Â Aku paham betul apa yang kau sampaikan, aku mengerti. Tapi, bisakah kau apresiasi dulu usahaku? Berikan selamat padaku? Aku hanya ingin dihargai. Semenjak itu, tak lagi kusampaikan apa yang kurasakan, saat kau bertanya padaku kenapa aku tak lagi berbagi cerita, rasanya aku ingin marah, meluapkan semuanya, sayangnya aku tak bisa. Aku takut kecewa, lagi.
Dari semua hal itu, aku tak bisa memposisikan diriku sebagai orang yang paling tersakiti. Aku tau orang yang tinggal di rumah yang sama denganku tentu menginginkan aku menjalani hidup yang terbaik, jauh lebih baik dari apa yang mereka jalani saat ini. Namun, tak bisa kuhindari bahwa ada bagian dalam diriku yang sudah terluka sejak dulu kala, membuat amarah lebih mudah muncul di hadapan para penghuni rumah. Percayalah, aku juga terus berusaha menyembuhkan luka.
Maaf. Maaf kalau aku banyak kurangnya. Maaf kalau aku memberi banyak luka. Maaf kalau aku belum seperti apa yang kau minta. Yang ada di sini, adalah apa yang tak bisa kuhadirkan ditengah kita. Karena, aku takut menambah luka.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI