Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Konsep Cinta dan Citra Lansia Mewarnai Pertemanan

20 Maret 2021   12:21 Diperbarui: 20 Maret 2021   12:31 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Konsep Cinta yang dimaksud adalah pemikiran tentang Cinta. Mungkin lebih mentereng disebut definisi, batasan-batasan dengan beberapa unsur. Itu gaya ilmiah. Tetapi ada pula tidak kurang ilmiah ialah paham, atau persepsi. Pemahaman sebyektif seseorang yang disebut persepsi ini bisa tanpa disadari mempengaruhi perilaku. Persepsi orang tentang Cinta.

Citra Lansia adalah image gambaran yang segera muncul di sanubari orang tentang yang apa dan siapa Lansia itu yang disini disebut sebagai siempunya citra. Masyarakat mempunyai Citranya Bung Karno Prabowo Subianto, Jokowidodo, SBY, Amin Rais, yaitu tokoh yang sangat masyarakat kenal. Ada pula kebiasaan berbicara tentang Citra suatu kelompok. Citra Partai A,B,C, citra lembaga pendidikan yang mengkait citra alumninya yang sukses.  Orang juga sering memakai istilah Merk, Brand. Disini Personal Branding Lansia..

Kata sambung "dan" pada judul akan membangun suatu cerita yang mengkaitkan dua hal tersebut. Macam kaitannya saya serahkan kepada pembaca setelah membaca cerita pendek saya. Sebab sebelum ini saya sudah menulis tentang memetik manfaat berita  disini : https://www.kompasiana.com/astokodatu/604ef880d541df55ea27e353/ bagaimana-memetik-manfaat-dari-berita-dan-issue , dan sekarang saya juga akan mempraktekkannya.

Seperti di Kompasiana kita bertemu dengan penulis dan pembaca dibayangi oleh aturan dan mekanisme admin demikian pula di Facebook kita bisa bertemu dengan teman yang sedang berteman dialurkan oleh admin. Didunia maya yang nyata itulah ceritaku ini terjadi. Bagi Pembaca yang tidak suka dengan Facebook, ya tolong cerita saya dilihat dengan suatu kacamata abstraksi yang kreatif saja.

Sekurangnya lima teman saya berceloteh tentang pertemanan mereka. Di Facebook, halaman saya. Begini ceritanya :

Satu : Seorang yang tergolong cukup lanjut usia, terhormat dan sedang kurang sehat menulis : Minta maaf karena situasi dan kondisi maka masih ada sekitar 500 peminta pertemanan belum bisa direspon. (bukan main, pikirku)

Dua : Seorang ibu yang mungkin tergolong belum usia lansia, banyak acara, melontar keraguan dalam menilai kwalitas orang untuk pertemanan. Disamping itu ingin membatasi jumlah sehingga teman yang tidak berkwalitas akan di blokir.(tapi rupanya ragu ragu).

Tiga : Seorang artis (bukan ibu kota) menunjukkan ketidak peduliannya dengan permintaan pertemanan di Fbnya  dengan mengatakan minta maaf belum sempat merespon.

Empat : Seorang ibu bercerita dengan entengnya baru saja memblokir banyak teman yang tidak aktif dan yang kurang sopan terhadapnya.

Terhadap keempat kasus saya sebut diatas bisa ditambah apa yang saya alami. Pertama tama, saya merasa heran bagaimana Admin FB "mengalirkan-permintaan-pertemanan" dalam dua bulan belakangan ini kepada sekurangnya lima orang yang saya pantau. Kedua, permintaan itu umumnya datang dari "kwalitas" orang orang yang sama, saya perkirakan sekitar 75%.sama gayanya

Dari pengamatan dan pengalaman yang saya gambarkan diatas tadi saya coba buat kesimpulan: (satu) Ada unsur pertemanan yang dimasalahkan : jumlah dan kwalitas. (dua) kwalitas orang, yang dikaitkan dengan kwalitas relasi/komunikasi, (tiga)banjirnya permintaan pertemanan disana pasti bisa saja dihubungkan dengan suatu alogaritma Facebook.

Disamping itu (empat) akan tampak pada tingkat kelanjutannya bahwa setiap orang mempunyai pola pertemanan : santai, rekreasional, mengisi waktu, spontanitas dikembangkan, atau ada diantaranya yang sadar tidak sadar bermaksud untuk mencapai kepentingan, seperti penawaran komoditinya, dukungan finasial seperti uang kost, pulsa dst, atau bahkan mencari jodoh. Ini antara lain tampak pada pembentukan kelompok atau grup.

Belajar dari perilaku dan citra dua tokoh politik tertentu yang mengalami masalah suka mengeluh dan atau nyinyir, saya memilih sikap tanpa mengeluh dan belajar.

Percaya pada suatu metoda dan sistem alogaritma dimana program disusun dari masukan obyektif, saya ingin menguji diri sendiri. Masukan mana dari diri saya yang tertangkap dan terrumus menjadi bahan Facebook memprogram dan mengirim kepada saya banyaknya permintaan pertemanan belakangan ini. Dan nasehat yang saya terima perbaikilah citra masukan itu.

Saya berasumsi konsep dan persepsi saya tentang Cinta mungkin membuahkan inputan yang sedemikian rupa. Persepsi tentang cinta juga dapat diperluas hingga pada bidang seksualitas dan gender, ketertarikan seksual hetero atau homoseks, persepsi tentang penilaian terhadap perkawinan dan keluarga. Dan dalam hal ini seringkali dikaitkan dengan stigma lansia kesepian, setelah menjanda, menduda.

Dengan segala upaya tidak jauh dari sikap mindfullness dan beriman saya selalu berfikir ada hukum cinta itu bagi saya. Cintailah Sesamamu seperti dirimu sendiri.  Dari itu saya biasa merumuskan cinta itu adalah sikap (bisa respon bisa proaktip), yang positip terhadap obyek sesuai dengan posisi, situasi dan kondisi nyata dan menurut kaidah sosial, waktu dan tempat yang berlaku.

Perihal Seksualitas saya mempunyai persepsi bahwa seks lebih merupakan hal yang pribadi, privat, manusiawi, ada aspek kenikmatan yang dilampiri misi suci tugas regenerasi. Karena itu seksualitas itu membawa sifat kesucian dan privat. Adapun kecenderungan saya sangat heteroseksual. Berdasarkan penghormatan kepada ibu, saya menjunjung nilai kehormatan perempuan. Suatu sikap nyata saya menghargai sekali isteri dan kesetiaannya, saya mendoakan anak cucu perempuan selalu dengan doa dan harapan kiranya mereka menjadi perempuan terhormat dan nantinya ibu yang bahagia.

Terhadap orang lain saya mengenakan prinsip "minus malum", seperti mereka yang mengaku menjalin hubungan "rumit", serumah tanpa nikah, praktik seksualitas yang menyimpang atau tidak sejalan dengan kecenderungan saya. Kendati saya merasa tidak nyaman, tetapi saya mencoba melihat itu urusan pribadi mereka. Dan mungkin itu bagi mereka minus malum daripada ditempuh jalan lain yang lebih buruk.

Belakangan saya mulai berfikir barangkali sikap tidak "menghukum" kelainan seksual itulah yang membuat citra saya terrekam biru dalam alogaritma sistem.  Dan bila itu benar maka menjadi dekat pula sesuai usia, saya tercitra sebagai lansia kesepian.

Dan atas dasar itu saya termotivasi untuk mengubah cara merespon lontaran ide, atau pembuatan pernyataan-pernyataan di media sosial itu.

Pembaca yang budiman, mungkin anda tidak mengalami atau tidak peduli akan peristiwa seperti yang saya alami. Karena pertemanan persahabatan anda jauh lebih luas didunia nyata daripada dunia maya. Dan media sosial benar hanya sekedar sarana komunikasi saja dengan segala konsekwensinya.

Namun demikian dimanapun Persepsi itu sadar tidak sadar (dibawah sadar) potensial mempengaruh perilaku dan perilaku memberi citra pada pelaku. Dan ingat memang: Mindfullness yang beriman itu adalah langkah kehudupan yang dinamis dan damai.

Tolong terima permintaan maaf bila ada salah kata, terimalah salam hormat saya.

Ganjuran, Maret 20. Emanuel Astokodatu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun