Mohon tunggu...
Astatik Bestari
Astatik Bestari Mohon Tunggu... Praktisi Pendidikan Nonformal dan Informal

Pendiri Yayasan Bestari Indonesia. Domisili di Jombang Jawa Timur. Pengelola PKBM Bestari Jombang Jawa Timur. Ketua 2 DPP ASTINA Ketua bidang Peningkatan Mutu PTK DPW FK-PKBM Jatim LP Ma'arif PCNU Jombang bidang PNF

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Urgensi Empati dari Sekolah hingga Parlemen

31 Agustus 2025   09:37 Diperbarui: 1 September 2025   14:56 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gedung parlemen (KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN)

Gelombang keresahan publik dalam beberapa waktu terakhir menunjukkan betapa dalamnya kekecewaan rakyat terhadap wakil dan pemerintahannya.

Pemberitaan soal gaji anggota DPR yang dinilai terlalu besar, di tengah kondisi rakyat yang menghadapi kenaikan pajak dan tekanan ekonomi, memicu gelombang kekecewaan yang meluas.

Situasi semakin runyam ketika di ruang sidang, sejumlah anggota DPR tampak berjoget tanpa empati pada kondisi rakyat, hingga muncul komentar yang menyebut bangsa sendiri sebagai "tolol" ketika ada suara rakyat yang menuntut pembubaran DPR.

Kekecewaan rakyat kemudian semakin diperparah oleh peristiwa tragis meninggalnya seorang pengemudi ojek online bernama Affan yang terlindas mobil Brimob.

Luka sosial ini menyalakan amarah publik, yang di sejumlah daerah bahkan berujung pada pembakaran gedung dewan, penjarahan, dan tindakan destruktif lainnya. Semua ini menjadi tanda bahwa jurang antara rakyat dan wakilnya semakin lebar, dan krisis kepercayaan semakin menguat.

Fenomena ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia sedang menghadapi persoalan serius dalam hal representasi politik dan keadilan sosial.

Rakyat yang merasa tidak didengar, melihat wakilnya lebih sibuk dengan kepentingan sendiri, akhirnya melampiaskan kekecewaan dengan cara yang merusak.

Padahal sejarah bangsa ini telah berulang kali membuktikan bahwa energi kolektif rakyat bisa menjadi pendorong perubahan besar, asalkan diarahkan pada jalur yang tepat.

Dari perlawanan melawan penjajahan, reformasi 1998, hingga berbagai gerakan sosial yang lahir dari kampus dan komunitas, Indonesia memiliki modal sosial untuk mengubah keresahan menjadi kekuatan perbaikan.

Kekecewaan rakyat terhadap pemerintah dan wakilnya adalah sesuatu yang wajar, apalagi ketika rasa keadilan dianggap dilukai. Namun, menjawab kekecewaan dengan tindakan pengerusakan dan penjarahan bukanlah jalan yang patut dinormalisasikan.

Tindakan destruktif memang bisa menjadi luapan emosi sesaat, tetapi justru akan menambah kerugian dan penderitaan, terutama bagi rakyat kecil yang sebenarnya tidak bersalah.

Gedung yang terbakar, fasilitas publik yang rusak, hingga harta benda yang dijarah pada akhirnya kembali menyulitkan masyarakat sendiri, bukan memperbaiki keadaan yang menjadi sumber kekecewaan.

Bangsa ini sejatinya memiliki warisan panjang perjuangan yang berakar pada keberanian dan martabat, bukan pada perusakan. Dengan cara yang bermartabat pula, rakyat dapat menunjukkan aspirasi dan menuntut perubahan.

Menolak normalisasi pengerusakan bukan berarti mengabaikan rasa kecewa, melainkan memilih jalan yang lebih mulia: mengubah amarah menjadi energi positif untuk mendorong perbaikan yang nyata.

Dengan begitu, suara rakyat tetap terdengar lantang tanpa harus melukai nilai-nilai kemanusiaan dan merugikan sesama.

Namun jalan itu tidak akan tercapai bila kemarahan hanya meledak dalam bentuk perusakan. Kekerasan dan kerusuhan pada akhirnya justru merugikan rakyat kecil sendiri, menambah beban sosial-ekonomi, dan memperparah luka kepercayaan.

Karena itu, bangsa ini membutuhkan mekanisme untuk mengolah kemarahan publik menjadi energi yang konstruktif, yang bisa memperkuat demokrasi dan memperbaiki tata kelola negara.

Salah satu jalan utama adalah pendidikan. Dalam kerangka Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya Goal 4 tentang Pendidikan Bermutu, pendidikan di Indonesia harus diperluas maknanya.

Pendidikan tidak hanya sekadar literasi baca tulis atau keterampilan teknis, tetapi juga pendidikan kewargaan, pendidikan nilai, dan pendidikan karakter.

Rakyat perlu dibekali dengan pengetahuan politik yang sehat agar mampu mengkritisi kebijakan tanpa terjebak dalam kekerasan.

Pendidikan karakter juga penting untuk membentuk generasi muda yang kritis namun konstruktif, yang mampu mengubah amarah menjadi advokasi damai dan partisipasi politik yang sehat.

Lebih dari itu, pemerataan akses pendidikan yang inklusif menjadi kunci. Selama masih ada ketimpangan besar antara daerah dan kelas sosial, akan selalu lahir rasa ketidakadilan yang berpotensi menjadi bahan bakar kemarahan.

Pendidikan yang merata bukan hanya menciptakan sumber daya manusia yang unggul, tetapi juga membangun kesadaran kolektif bahwa setiap warga negara berhak diperjuangkan.

Ditambah dengan literasi digital, rakyat Indonesia dapat lebih bijak dalam mengelola informasi, menghindari provokasi, dan membangun solidaritas berbasis data serta fakta.

Di titik inilah peran guru menjadi sangat penting. Guru bukan hanya pengajar ilmu pengetahuan, tetapi juga pendidik karakter yang menanamkan nilai empati, kejujuran, dan kepedulian sosial sejak dini.

Anak-anak yang tumbuh dengan pemahaman tentang arti empati akan lebih mudah menghargai sesama, peduli pada penderitaan orang lain, dan tidak tega menggunakan jabatan untuk menindas rakyat.

Guru memiliki kekuatan untuk melahirkan generasi yang berbeda, generasi pemimpin yang memahami jeritan rakyat karena sejak kecil mereka diajarkan untuk merasakan penderitaan orang lain. Karena itu, meskipun kondisi bangsa sering terasa berat, para guru perlu terus bersemangat belajar dan mengajar.

Setiap nilai empati yang diajarkan kepada anak hari ini adalah investasi besar untuk masa depan bangsa. Anak-anak itu kelak akan menjadi pejabat, legislator, bahkan presiden yang penuh empati dan berpihak pada rakyat.

Dengan begitu, keresahan publik hari ini justru bisa menjadi momentum refleksi bersama: bahwa pendidikan, terutama yang berakar dari ruang kelas dan keluarga, adalah fondasi bagi lahirnya Indonesia yang lebih adil, manusiawi, dan berkelanjutan.

Kemarahan rakyat adalah alarm keras. Ia bisa membawa bangsa ini ke jurang kehancuran jika dibiarkan, tetapi juga bisa menjadi tenaga besar untuk membangun Indonesia yang lebih adil dan demokratis bila diolah dengan bijak.

Kuncinya adalah keberanian kita menjadikan pendidikan dengan guru sebagai ujung tombak, sebagai fondasi.

Dengan itu, keresahan tidak berhenti pada amarah, melainkan berubah menjadi energi perubahan, sementara anak-anak dididik untuk menjadi pemimpin masa depan yang berempati dan berpihak kepada rakyatnya.

Dokpri
Dokpri

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun