Setiap kali bangsa ini merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan, suasana selalu riuh oleh aneka lomba yang digelar di setiap penjuru negeri. Dari desa hingga kota, dari jalan kampung hingga lapangan luas, masyarakat bersatu dalam keceriaan. Lomba-lomba itu telah menjadi tradisi, menjadi penanda bahwa kemerdekaan bukan hanya milik masa lalu, melainkan terus dirayakan dalam kebersamaan sehari-hari.
Namun, keceriaan itu tidak lepas dari ruang refleksi. Ada kalanya lomba yang diselenggarakan justru menimbulkan kegelisahan, karena menampilkan bentuk-bentuk yang jauh dari nilai kebangsaan. Sebagian permainan terkesan mempermainkan tubuh dengan cara yang tidak pantas, ada yang menjadikan peserta bahan tertawaan hingga menyerempet ke arah perundungan, bahkan ada pula yang menyelipkan nuansa sensual yang tidak layak dipertontonkan. Kesan intoleransi pun muncul saat identitas agama atau budaya tertentu dijadikan olok-olok dalam permainan.
Kegelisahan ini ternyata tidak hanya menjadi pengamatan pribadi. Beberapa kejadian bahkan sempat viral dan menuai kritik luas dari masyarakat. Misalnya, lomba di sebuah sekolah yang meminta siswi menjepit terong pada tubuh mereka. Banyak warganet menilai lomba itu sebagai bentuk yang tidak senonoh dan mempertanyakan bagaimana guru bisa membiarkan kegiatan seperti itu berlangsung. Media juga mengangkat kritik terhadap lomba-lomba yang secara tidak sadar sarat dengan pelecehan terhadap perempuan, menegaskan bahwa perayaan kemerdekaan seharusnya menjunjung martabat manusia, bukan merendahkannya. Ada pula lomba "makan pisang" yang ramai di media sosial, di mana gerakannya dianggap menyerupai adegan sensual sehingga menimbulkan kecaman publik dengan sebutan "tidak mendidik". Semua ini menandakan bahwa keresahan atas lomba yang merendahkan nilai kemanusiaan dirasakan banyak pihak, bukan hanya segelintir orang.
Jika kita kembali pada makna kemerdekaan, semestinya perayaan HUT RI menjadi cermin nilai Pancasila dan semboyan *Bhinneka Tunggal Ika*. Kemerdekaan yang diperjuangkan dengan pengorbanan besar bukanlah untuk memberi ruang pada sikap merendahkan orang lain, melainkan untuk memuliakan martabat setiap manusia. Oleh sebab itu, lomba-lomba Agustusan mestinya berfungsi sebagai wahana edukasi kebangsaan, penguat persatuan, sekaligus sarana melestarikan budaya yang beradab.
Bentuk perlombaan yang mencerminkan citra bangsa Indonesia sebenarnya bisa dirancang dengan beragam cara. Lomba cerdas cermat kebangsaan, misalnya, akan menumbuhkan semangat generasi muda mengenal sejarah perjuangan dan nilai Pancasila. Lomba kreasi seni Nusantara bisa menghadirkan tari, musik, atau lukisan yang menggali kekayaan budaya lokal, sementara permainan tradisional seperti bakiak, gobak sodor, atau tarik tambang tetap dapat dilestarikan sebagai warisan kebersamaan. Dalam konteks zaman digital, masyarakat juga bisa mengadakan lomba video pendek bertema "Makna Merdeka" yang memberi ruang ekspresi kreatif anak muda. Festival kuliner Nusantara akan mempertemukan keberagaman rasa sekaligus memperkuat persaudaraan lintas daerah. Tak kalah penting, lomba inovasi ramah lingkungan dapat menumbuhkan kepedulian bahwa cinta tanah air juga diwujudkan dengan menjaga bumi tempat kita hidup bersama.
Dengan begitu, lomba HUT RI bukan hanya soal keriuhan yang sesaat, tetapi menjadi ruang bersama untuk menegaskan siapa kita sebagai bangsa. Merayakan kemerdekaan seharusnya menghadirkan kegembiraan yang tidak merendahkan, melainkan menggugah rasa kebangsaan, memperkuat persaudaraan, dan menumbuhkan keadaban. Dari sanalah citra Indonesia yang ramah, cerdas, dan berbudaya dapat terus dipancarkan di tengah arus zaman yang kian cepat berubah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI