Gelombang protes yang terjadi di Kabupaten Pati pada pertengahan Agustus 2025 menjadi sorotan publik, baik di ruang nyata maupun di ruang digital. Akar persoalannya adalah kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen untuk kategori tertentu, yang diumumkan Pemerintah Kabupaten Pati pada awal tahun. Meski kenaikan ini disertai dengan alasan peningkatan pendapatan daerah dan penyesuaian nilai jual objek pajak, publik merespons dengan beragam. Sebagian warga menilai kebijakan tersebut memberatkan, apalagi di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih. Demonstrasi pun digelar di pusat kota, menuntut pembatalan kebijakan dan bahkan mendesak Bupati Pati untuk mundur dari jabatannya. Media massa melaporkan bahwa kebijakan tersebut akhirnya dibatalkan, dan pemerintah daerah membuka prosedur pengembalian bagi warga yang sudah membayar dengan tarif baru.
Ruang digital menjadi arena perluasan diskursus. Di media sosial, beredar video dan foto suasana aksi di depan kantor bupati. Beberapa warganet membagikan informasi tentang prosedur pengembalian pembayaran PBB, menyertakan tautan resmi dari laman pemerintah daerah. Ada pula yang mengunggah infografis untuk menjelaskan kategori tarif yang terdampak kenaikan. Konten seperti ini membantu publik memahami duduk perkara secara lebih jelas. Pada sisi lain, ada pula unggahan yang mengajak masyarakat untuk menyampaikan aspirasi secara damai, mematuhi hukum, dan menjaga martabat daerah. Interaksi semacam ini menunjukkan bahwa ruang digital dapat menjadi sarana membangun solidaritas, mengedepankan dialog, dan memperkuat literasi publik.
Namun, di tengah arus informasi yang membawa manfaat, ruang digital juga menyimpan potensi yang kurang menguntungkan. Potongan video yang memperlihatkan Bupati Pati menyatakan kesiapannya menghadapi "5 ribu hingga 50 ribu massa" dalam sebuah acara, misalnya, beredar luas di media sosial. Video ini menimbulkan beragam tafsir: ada yang menganggapnya sebagai ekspresi ketegasan, ada pula yang menilai waktunya kurang tepat di tengah suasana tegang. Potongan ini menjadi contoh bagaimana sebuah pernyataan, ketika dipisahkan dari keseluruhan konteks, dapat memunculkan persepsi berbeda-beda di kalangan publik.
Di sisi lain, sejumlah unggahan di media sosial memuat informasi yang tidak utuh. Misalnya, klaim bahwa seluruh kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) mencapai 250 persen tanpa menyebutkan bahwa angka tersebut hanya berlaku pada kategori tertentu. Ada pula yang menyajikan narasi dengan nada provokatif, sehingga memancing emosi pembaca tanpa memberikan data pendukung yang memadai. Fenomena ini menunjukkan pentingnya memastikan kelengkapan dan akurasi informasi sebelum dibagikan.
Kolom komentar pada beberapa kanal berita juga memperlihatkan dinamika serupa. Ada komentar yang menyampaikan kritik dengan argumentasi dan data, tetapi ada pula yang menggunakan bahasa emosional atau merendahkan pihak lain. Walaupun perbedaan pendapat adalah hal yang wajar, cara penyampaiannya menentukan apakah diskusi akan membawa pemahaman atau justru memperlebar jarak.
Dalam ajaran Islam, terdapat prinsip kehati-hatian dalam menyampaikan kabar. QS. Al-Hujurat ayat 6 memberikan nasihat agar setiap berita yang datang diteliti terlebih dahulu kebenarannya, supaya tidak menimbulkan penyesalan akibat informasi yang keliru. Pesan ini tidak dimaksudkan untuk menilai pribadi seseorang, melainkan menjadi pengingat bagi semua pihak bahwa verifikasi adalah langkah etis yang melindungi kehormatan dan persatuan masyarakat.
Hadis Rasulullah SAW juga menekankan pentingnya selektivitas dalam menyampaikan kabar: "Cukuplah seseorang dikatakan berdusta bila menceritakan segala hal yang dia dengar (HR Muslim dari Hafsh bin 'Ashim radhiyallahuanhu). Pesan ini relevan dalam dunia digital, di mana kecepatan berbagi sering kali mendahului proses pengecekan. Dalam konteks peristiwa di Pati, mengedepankan kesabaran untuk memeriksa sumber dan memastikan konteks bisa menjadi wujud nyata kesalehan literasi digital yang membangun peradaban.
Fenomena di Pati ini menjadi cermin bagaimana ruang digital dapat menjadi kekuatan besar, baik untuk memperluas wawasan maupun memperuncing perbedaan. Di satu sisi, teknologi memudahkan masyarakat untuk mengakses informasi tentang kebijakan publik, memeriksa data, dan menyampaikan kritik yang membangun. Di sisi lain, teknologi juga membuka peluang bagi masuknya informasi yang belum diverifikasi, yang bisa memicu reaksi emosional sebelum fakta lengkap tersaji. Tantangannya adalah menjaga agar diskursus publik di media sosial tidak terjebak dalam polarisasi atau saling tuding, tetapi diarahkan pada pencarian solusi yang konstruktif.
Di sini, konsep kesalehan literasi digital menjadi relevan. Kesalehan dalam konteks ini tidak terbatas pada aspek ritual, tetapi meliputi sikap hati-hati, rendah hati, dan penuh tanggung jawab dalam berinteraksi di dunia maya. Kesalehan literasi digital mengajak setiap individu untuk tidak hanya melek teknologi, tetapi juga bijak menggunakannya demi kemaslahatan bersama. Artinya, sebelum mengunggah, mengomentari, atau membagikan sesuatu, seseorang mempertimbangkan dampaknya bagi pihak lain, bagi kehormatan pribadi, dan bagi reputasi daerah. Langkah sederhana seperti mengecek sumber informasi atau memilih kata yang santun dapat mencegah konflik yang tidak perlu.
Kita juga belajar bahwa di era digital, citra suatu daerah bukan hanya dibentuk oleh kebijakan pemerintah atau prestasi warganya di dunia nyata, tetapi juga oleh bagaimana warganya berinteraksi di media sosial. Komentar-komentar yang santun dan kritis membangun dapat memperkuat reputasi daerah sebagai komunitas yang dewasa dan berbudaya. Sebaliknya, narasi yang menyerang pribadi atau mengekspresikan kemarahan tanpa dasar yang jelas dapat memberi kesan bahwa masyarakat belum siap berdialog secara sehat. Dalam perspektif ini, menjaga nama baik daerah menjadi tanggung jawab kolektif, di mana setiap unggahan dan komentar adalah representasi identitas bersama.