Baca juga Bagian 4 :Â
https://www.kompasiana.com/asepsukarna5061/68a23841ed641577087da832/diantara-detik-dan-data-bagian-4
Bagian 5 -- Sketsa: Ia yang Hidup di Antara Dua Dunia
Namanya tidak tercatat di sistem. Tapi semua orang di kampung mengenalnya. Ia dipanggil Darto, meski di KTP tertulis Darmawan. Ia lahir sebelum listrik masuk desa, dan tumbuh sebelum sinyal menyentuh sawah. Ia tahu cara menanam, cara menunggu hujan, dan cara membaca arah angin. Tapi ia tidak tahu cara mengisi formulir online.
Darto hidup di zona waktu. Ia menghitung hari dengan matahari, bukan kalender. Ia tahu kapan panen dari bau tanah, bukan dari notifikasi. Ia tidak punya rekening bank, tapi punya buku kecil berisi catatan utang dan janji. Ia tidak pernah menolak teknologi, hanya tidak pernah diajak bicara oleh sistem.
Suatu hari, pemerintah mengumumkan bantuan pupuk digital. Semua harus daftar lewat aplikasi. Darto pergi ke balai desa, membawa KTP yang sudah mulai pudar. Petugas berkata, "Harus ada email, Pak." Darto diam. Ia tidak tahu apa itu email. Ia hanya tahu bahwa tanahnya butuh pupuk.
Di sisi lain kampung, anak muda bernama Raka hidup di zona data. Ia punya ponsel, akun e-wallet, dan aplikasi pembukuan. Ia bisa membeli benih lewat marketplace, dan membayar dengan QR. Tapi ia sering datang ke Darto, bukan untuk mengajari, tapi untuk mendengar. "Tanah ini bicara, ya, Pak?"Â katanya. Darto tersenyum. "Kalau kau diam cukup lama, ia akan menjawab."
Raka kemudian membuatkan akun untuk Darto. Ia tidak memaksa, hanya menawarkan. Ia mencatat nama Darto di aplikasi, tapi tetap menyimpan buku kecilnya. "Biar dua-duanya ada," katanya. "Yang digital, dan yang diam."
Darto tidak berubah jadi digital. Tapi ia mulai dikenali oleh sistem. Ia tidak kehilangan waktu, tapi mulai masuk ke zona data. Bukan karena sistem membukanya, tapi karena seseorang menjembatainya.
Di antara detik dan data, Darto tetap berjalan. Ia tidak cepat, tidak lengkap, tidak sempurna. Tapi ia ada.