Baca juga Bab 1 :
Pagi itu, Raka memutuskan berangkat. Â
Kedai ditutup pelan. Memo disimpan di laci. Grinder dimatikan bukan karena lelah, tetapi karena tubuh ingin menempuh ulang jalan ke Jogja dengan motor yang juga membawa sejarah.
BMW R27 disiapkan---bukan sebagai gaya hidup, melainkan penyambung rasa yang belum sempat dikirim. Di jok-nya ada aroma tua yang menyatu dengan jaket hijau ala pilot---masih menyimpan bau proyek dan sedikit hujan yang tak pernah benar-benar kering. Motor itu bukan kendaraan, melainkan tubuh memo yang dibaca ulang dengan pelan.
Raka tidak membawa banyak barang.
Hanya tas kecil, beberapa bon kopi, sepucuk memo yang belum selesai, dan satu kalimat yang belum sempat ia kirim pada dirinya sendiri.
Di atas R27, ia melaju tanpa tergesa. Jalanan menuju Jogja bukan peta, melainkan lorong waktu.
Ia menyusuri batas antara Lembang dan Ciamis, di mana udara pagi menyimpan jejak Cilacap yang dulu menjadi rumah sementara. Di sana, potongan rambutnya terlalu rapi. Jaketnya terlalu militer. Senyumnya terlalu siap.
"Saya hanya ingin bertemu Cak Nun. Tapi tubuh saya dianggap pengintai."
Ia tidak marah soal itu.