Memahami Qur'an secara kontekstual bukan berarti mengkhianati wahyu, melainkan justru:
Memuliakan fungsi wahyu sebagai petunjuk yang hidup.
Mengakui bahwa makna ke-Qur'anan tidak ditentukan oleh teks saja, tapi juga oleh pengalaman hidup manusia yang memahaminya.
Menjadikan Qur'an sebagai sumber dialog antara langit dan bumi, bukan sebagai monumen masa lalu.
Inilah alasan mengapa istilah "generasi Qur'ani" seharusnya dipahami sebagai visi terbuka, bukan sebagai standar tertutup. Ia adalah proyek spiritual, sosial, dan intelektual yang senantiasa berevolusi dan tidak pernah selesai.
Kesimpulan Subbagian
Qur'an sebagai teks terbuka mengarahkan kita untuk membongkar klaim eksklusivitas terhadap generasi awal dan mengakui bahwa ke-Qur'anan adalah jalan, bukan tujuan yang sudah dicapai oleh segelintir orang dalam sejarah. Dalam pandangan ini, umat Islam tidak sekadar mengenang kejayaan masa lalu, tapi didorong untuk terus menciptakan kebangkitan baru---melalui keberanian berpikir, mengkaji ulang, dan menghidupkan kembali nilai-nilai wahyu dalam tantangan zaman kini.
2. Nilai-nilai Qur'ani yang Universal, Bukan Partikular
Dalam menggagas paradigma baru "Generasi Qur'ani sebagai proses," penting untuk menegaskan bahwa nilai-nilai yang diajarkan oleh Al-Qur'an bersifat universal, bukan terbatas pada kondisi sejarah atau konteks sosial tertentu, termasuk konteks zaman Sahabat. Hal ini sekaligus menjadi kritik terhadap klaim "keunikan" generasi pertama sebagai satu-satunya representasi ideal dari penerapan Islam.
A. Nilai Universal dalam Al-Qur'an
Al-Qur'an menanamkan prinsip-prinsip moral dan sosial yang: