Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Memulai Cerita Lama di Kaliwadas - 2

3 Oktober 2021   22:09 Diperbarui: 3 Oktober 2021   22:34 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

"Habis ke puncak mas?" tanya saya pada mereka.

"Nggak, kami putuskan sampai disini saja. Kami akan kembali, gak kuat lagi," jawab mereka lunglai.

Saya tak berniat bertanya alasan mereka kembali karena ini baru setengah perjalanan menuju puncak. Sebelum kami tuntas mendirikan tenda mereka telah pergi turun dan terlihat menyusuri jalan-jalan gelap dengan pelita yang melingkar di kepala.

Saat makan malam tiba, kami memasak dan menghabiskan beberapa liter air untuk mencuci beras serta menanaknya. Air yang tersisa hanya satu botol saja untuk sarapan pagi besoknya. Tak mengapa, kami memang berencana memenuhi semua botol-botol kosong kami di pos ini lalu melanjutkan menuju puncak yang nampak terus merayu dalam silhouet malam itu.

Angin tak menyapa, langit penuh bintang, suhu udara berada pada belasan derajat, lampu-lampu dibawah lembah gemerlap menari-nari berkelap-kelip. Oksigen terasa kembali lebih manis, Vegetasi Hutan berpohon besar telah kami lalui dan didepan sana menuju puncak, pohon-pohon edelweiss  memantulkan sinar bintang malam  seolah menyambut dengan salam liukan bunga-bunganya yang putih dikegelapan.

Kami tertidur dengan lelap sejenak, menanti Fajar menyingsing. Lolongan hewan sesekali terdengar, lelapnya tidur seolah melupakan semua persoalan dibawah sana. Hanya kami, bumi dan Langit yang menyatu dalam kesunyian.

Menjelang tengah malam kami terjaga. Serombongan orang terdengar membanting tubuh-tubuh mereka ketanah. Mereka baru tiba dari pos dua lalu terdengar mendirikan tenda dengan nafas helaan deras karena keletihan yang luar biasa. Seorang dari mereka memerintahkan tiga orang untuk mencari air ke mata air  di lembah sebalah timur seperti yang tertera di peta yang dibagikan pada para pendaki dibasecamp. Tak lama serombongan orang melewati tenda kami dengan suara dentang kosong bejana-bejana air. Kami hanya mendengarkan saja ditengah dekapan kantung tidur hingga dua jam kemudian mendengar berita tak mengenakkan.

"Ini air terakhir kita, dibagi bertujuh ya! Mata air di bawah sana ternyata kering. Cuma satu botol ini yang ada, harus hemat-hemat kalau nggak semua rencana kita bisa batal. Mau minum saja susah apalagi mau sampai puncak," sungut seseorang diantara mereka ketika pencari air telah kembali tiba ditenda. Sebagian dari mereka bersungut-sungut dan saling menyalahkan.

Tak  membawa air yang cukup untuk ke puncak sejak dari basecamp menjadi suatu keputusan  yang mereka sesalkan. Tak lama kelelahan meredakan keributan mereka, hanya suara dengkur letih yang memenuhi malam. Nampaknya tak ada ritual makan malam diantara mereka.

Saya melirik botol dibawah kaki yang juga merupakan persediaan air kami. Mendengar keributan di tenda sebelah, air itu jangankan akan bisa membawa kami ke puncak, untuk turun kembali saja kami perlu lebih dari itu. Sambil bergumam saya  bertanya kearah langit-langit tenda:

"Mata air disini kering? Lalu besok kita bagaimana? Kita bisa gagal ke puncak kalo gini!" bisik saya seraya  melirik Rafi dan Fai yang juga tengah mendengarnya. Saya tak menemukan jawaban apapun dari mereka, sunyi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun