Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Memulai Cerita Lama di Kaliwadas - 2

3 Oktober 2021   22:09 Diperbarui: 3 Oktober 2021   22:34 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Tenda kami tinggalkan bersama peralatan yang kami bawa. Semua bejana kosong kami masukkan dalam satu carrier untuk memudahkan. Lalu mengikuti arah sumber air di peta. Peta adalah peta. Ia hanya menunjukkan letak mata air sejauh tiga ratus lima puluh meter dari pertigaan dan kami telah tiba dipersimpangan itu.

Karena jalan ini berada pada punggung pegunungan maka peta itu tak pernah bercerita bahwa tiga ratus lima puluh meter itu harus menempuh kemiringan dinding sebesar lebih dari lima puluh derajat.

Artinya sebuah jurang menuju lembah yang berkemiringan lima puluh  derajat harus kami tempuh untuk mendapatkan air. Dari sanalah jarak tiga ratus lima puluh meter itu dihitung. Ada jalan yang dirintis menuju kesana namun semua begantung pada akar-akar pohon yang menjadi tumpuan kaki dan tangan.

Kami saling pandang. Jalan menuju lembah ada dihadapan, begitu menantang. Dua orang tiba-tiba muncul dari rerimbunan semak yang menutupi jalan menuju jurang mata air. Lidah mereka menjulur-julur bagai seekor hewan yang kehausan lalu menjumpai kami dihadapan.

"Prank...kita diprank om. Gak ada air dibawah sana. Ganti aja tulisan petunjuk dipapan itu. Dari Mata Air jadi Air mata," lelaki berusia dua puluhan menunjuk plang penunjuk jalan dibelakang kami. Mereka nampak kelelahan setelah kembali dari mata air yang berada nun jauh dibawah jurang sana.

"Amsyong...amsyong!" ujar mereka berdua. Meski begitu pendaki tetaplah pendaki, kegagalan tak menjadikan mereka bersungut serius. Lidah kembali mereka julurkan, menghadapi semua itu kami tetaplah mencoba tertawa.

Waktu menunjukkan pukul Sembilan. Ketinggian tanah yang tertera di altimeter kami 2,515 mdpl. Matahari tepat empat puluh lima derajat menghadap kami. Dihadapan kami, jalan menuju sumber mata air tengah menunggu.

"Kita bergerak saja kebawah, apapun hasilnya nanti tinggal kita putuskan bagaimana setelahnya," usul Fai. Rafipun mengangguk meyakinkan saya.

"Sudah dua rombongan kita ketemu, semuanya bilang mata air tengah kering. Apa itu nggak jadi pertimbangan?" seru saya.

"Kalaupun pendakian kita ini nggak sampai kepuncak kali ini, Fai nggak mau cuma tinggal ditenda saja. Paling nggak kita cari air sampai dapat dan kita sudah membuktikan bahwa air memang tidak ada dibawah sana"

Saya setuju, perlahan kami menuruni lembah berdinding terjal. Sesekali kaki kami tersangkut akar-akar yang justru menolong  dari kejatuhan lebih jauh. Merayapi dinding yang hampir menempel di dada kami. Saya memang tak ingin menghentikannnya, apalagi mencoba menyerah Karena menurut perhitungan saya. Perjalanan ke bawah masih dalam batas aman menurut perhitungan saya. Kalaupun kami terjatuh, pepohonan perdu akan menyelamatkan kita untuk terjerumus lebih jauh. Kami datang kesana memang untuk belajar, pada alam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun