Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Lelaki Pemikat Punai (11)

4 Januari 2021   10:32 Diperbarui: 4 Januari 2021   12:43 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

LELAKI PEMIKAT PUNAI (11)

Sebuah Novel

“Beruntungnya kamu masih punya ibu,” Niken menghela nafas tetapi sepertinya ia tak ingin terlihat lemah dihadapanku meskipun aku tahu bagaimana rapuh dirinya terlihat dari raut wajahnya.

“Ya, makanan seperti inilah yang menemaniku tiga tahun sekolah di Semarang. Bekal yang kubawa setiap hari,” ujarku.

“Kamu, sekolah di Semarang?” tanya Niken  terkejut.

“Ya, sudah selesai juga seperti kamu. Tiga hari lagi aku harus memilih antara tetap tinggal disini atau pergi,” jawabku.

“Pergi, pergi kemana? Bukankah kamu bilang ingin mengetahui siapa pembunuh bapakmu?”

Aku mengangguk. Kuberitahu padanya tentang bagaimana aku telah diterima kuliah di Jakarta setelah sekian tahun berjuang untuk mendapatkannya.

Aku tak bercerita banyak tentang bagaimana rencana itu akan aku jalankan sementara bapak yang sebelumnya yakin akan mampu menopang hidupku selama kuliah di Jakarta ternyata lebih dulu pergi meninggalkan kami.

“Astaga, kamu hebat Fatur. Jangan sia-siakan kesempatan itu! Apa yang kamu dapatkan itu impianku juga. Hanya saja aku tak sepandai kamu untuk mendapatkan undangan dari mereka,” pujian Niken mendesirkan rasa yang aneh padaku. Aku berusaha menutupi kegugupan dengan menuangkan beberapa nasi keatas tutup kotak kubus bekal dari ibu.

“Nasi ini kita bagi dua ya! Aku harap kamu mau memakannya. Aku makan yang ditutup ini, kamu makan yang ada didalam kotak!” tawaranku padanya.

“Tidak, aku yang ditutupnya. Kamu perlu yang lebih banyak.Porsiku cukup sedikit saja!” sahutnya.

“Baiklah, asal kamu mau makan. Daripada pingsan seperti tadi,”

“Enak saja. Kalaupun aku pingsan bukan karena lapar..tapi karena..,”

“Sudahlah. Jangan berdebat! Macam mahasiswa saja,” godaku. Niken mencubit bahuku keras. Kesedihannya meluntur.

Aku senang membuatnya melupakan kegundahannya barang sejenak sekaligus menikmati suara tawanya yang renyah.  Sejatinya dalam hati kami berdua masih terselip rasa marah terhadap pembunuh bapak-bapak kami tetapi Tuhan tahu bagaimana  mempertemukan kami berdua disaat seperti ini sehingga hukum matematika dimana bilangan negative dikalikan dengan negatif akan menghasilkan sesuatu yang positif agaknya telah terbukti.

“Sombong sekali calon Mahasiswa ini. Daftar saja belum gayanya seperti ketua senat saja,” goda Niken sambil tersenyum.

Seekor burung gereja datang mendekat. Melompat tanpa takut kearah kami berdua. Kakinya yang kecil mengorek dedaunan kering. Niken melemparkan sejumput nasi kearahnya lalu burung itu melarikan diri dengan mengepakkan sayapnya ke udara dan tak lama kembali lagi untuk menikmati nasi itu.

“Lihat, burung gerejapun menikmati masakan ibuku!”seruku.

“Dasar Mahasiswa sok tahu, semua burung suka nasi,” Niken melemparku dengan sejumput nasi ke wajahku. Kuambil nasi yang menempel disana lalu kumasukkan ke mulut dan mengunyahnya dengan cepat. Kami tertawa terbahak-bahak, lupa sejenak tentang kenapa kami berdua ada di kantor polisi siang itu. Kami melahap bekal itu bersama seolah dua orang yang sudah berkenalan lama.

“Niken, kamu tahu banyak tentang anak-anak kuliah?” tanyaku usai aku merapihkan kotak bekal dan mengembalikannya ke boncengan belakang si kelabu.

“Ya. Aku indekost bersama para Mahasiswa saat SMA di yogya . Mereka sebagian ada yang sibuk, ada yang santai. Sebagian ada yang memiliki kenakalan layaknya remaja. Tapi kulihat mereka bahagia-bahagia saja terlepas dari setiap anak memiliki masalahnya masing-masing. Terutama masalah uang,” jelas Niken.

Ya, uang! masalahku memang uang. Bukan soal uang yang bisa dibayarkan saat pendaftaran nanti, tetapi bagaimana kelanjutan saat aku kuliah masa berikutnya. Bagaimana uang itu akan aku dapatkan untuk melanjut kuliah nantinya sementara yang aku tahu sebagai mahasiswa seseorang dituntut untuk belajar dengan seksama. Aku satu-satunya lelaki di rumah, Pantaskah aku yang menjadi tanggungan ibu dan adikku dengan  berharap dari ladang jagung yang tak seberapa luasnya.

“Fatur, kamu kenapa?” Niken membuyarkan lamunanku. Aku terkesiap dan meluruskan tubuhku yang tak terasa melengkung merunduk kearah sepeda.

“Aku mengerti kamu ingin tahu siapa pembunuh bapakmu tetapi jangan biarkan cita-citamu hancur karena sesuatu yang bisa kau temukan kemudian!” nasehat Niken.

Hey, ada apa perempuan ini bisa menasehatiku sedemikian jauh? Bukankah ia yang dalam keadaan bersedih juga perlu penguatan dari seorang mahluk yang katanya lebih kuat, lelaki.

“Niken!” suara hardikan dari seorang lelaki sekonyong-konyong datang dari belakang mengagetkan kami berdua.

Niken nampak terkejut sangat. Tubuhnya yang mulai bergetar tak mampu disembunyikan.

“Bukankah kamu seharusnya sudah pulang dari tadi? Sedang apa disini? Ayo kembali. Ibumu menunggu untuk membicarakan hal yang penting!” lelaki dengan kumis seperti ijuk mendelik bagai seekor sapi yang marah. Hidungnya kembang kempis dengan bau sengatan matahari dari tubuhnya. Giginya tanggal di bagian depan. Deretan giginya berwarna kuning seperti buah alkesa.

“Fatur aku harus pergi. Terima kasih atas makanannya,” Niken memandangku dengan wajah sedih. Ia menggeser tubuhnya perlahan kearah sepeda.

Lelaki itu kemudian menjauh untuk mendekati sepedanya yang ia sandarkan ke salah satu pohon Trembesi.

“Ibu tirimu memanggilmu?” tanyaku pada Niken yang kemudian mengangguk.

‘Siapa orang itu?”

“Juru tagih ayahku. Lebih tepatnya sekarang jadi pesuruh ibuku,” jawab Niken setengah berbisik.

“Kamu yakin akan baik-baik saja?”  

“Apakah kamu butuh pertolongan?” sapaku pelan, takut terdengar lelaki dengan baju merah dan bercelana hitam yang sedang menatap kami berdua dari kejauhan.

“Masalahmu sudah sedemikian banyak, Fatur. Aku hadapi ini sendiri saja,” Niken mengangguk lalu telapak kakinya bergerak melepaskan pegas yang menahan  standard disamping roda belakang.

“Aku akan membantumu…jangan takut Niken. Jaga dirimu!” bisikku ketelinganya.
 
Lelaki berwajah keras  itu mengarahkan sepedanya ke halaman depan kantor polisi dan mulai mengayuh pedalnya, sebuah lonceng dari tanduk kerbau yang biasa diletakkan di leher sapi nampak terikat dibawah sadel lelaki itu, suaranya berdentang seiring roda sepeda yang diayun oleh gelombang jalanan. Niken mengikuti lelaki itu dari dibelakang.

Bau lavender masih bersisa meninggalkan kenangan sesaat yang rasanya sulit terlupa. Wajah Niken sejenak menoleh kembali padaku tanpa kutahu maknanya, sebelum akhirnya keduanya  menghilang ditelan tembok halaman kantor itu.

Angin siang yang panas mendesir keras. Aku, terlarut pada persoalan-persoalan yang baru saja kubuat sendiri: Mencari siapa pembunuh bapak, merancang keberangkatanku ke Jakarta dan …Niken, perempuan Yogya beraroma Lavender yang baru kukenal itu.

-Bersambung Part-12-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun