Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tolong, Jangan Bully Anak Kami

5 Desember 2021   19:00 Diperbarui: 5 Desember 2021   19:02 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: ANTARA News/Ridwan Triatmodj)

Baru saja bersiap-siap untuk memandikan anak bungsunya yang masih berusia sekitar sebelas bulan, tiba-tiba saja dari luar terdengar seseorang memanggilnya dengan suara keras, tapi bernada penuh kecemasan.

 Sambil membopong bayinya, Nyi (atau Nyai, bahasa Sunda, panggilan untuk seorang wanita muda) Kokom bergegas keluar.

Ternyata orang yang tadi memanggilnya adalah Ceu (atau Ceuceu, bahasa Sunda, panggilan untuk kakak, atau perempuan yang lebih tua) Irah, tetangga yang rumahnya terhalang lima rumah. 

Tampak wajah Ceu Irah pucat-pasi, dan bibirnya bergetar seperti sedang menahan emosi. Sementara seorang anak usia lima tahunan, merintih-rintih di dalam dekapannya.

"Ada apa Ceu? Dan kenapa anaknya itu?" tanya Nyi Kokom keheranan.

Ceu Irah membalikkan tubuh anaknya, dan tampak jelas dahi anak itu terluka. Darah segar pun masih terlihat keluar.

"Tadi disambit dengan batu oleh Jang Iwan. Kalau tidak percaya, boleh tanya anak-anak teman bermainnya, " sahut Ceu Irah dengan ketus.

"Astaghfirullah... Lalu sekarang dimana anak sayanya?"

"Entah. Kata anak-anak, sehabis melempar anak saya langsung lari."

"Ya, sudahlah. Sebaiknya kita segera obati anaknya ke Puskesmas. Tapi tunggu sebentar, saya akan ganti pakaian dulu."

***

Memang Nyi Kokom sudah seringkali menghadapi kejadian seperti di atas tadi. Kalau tidak menggangu teman-teman sebayanya, anak sulungnya yang sudah berusia tujuh tahun itu, seringkali pula dilaporkan merusak mainan teman-teman yang sebenarnya usianya lebih muda. Bahkan kadangkala, telur ayam di dalam petarangan, dan kepunyaan tetangganya, habis dipecahkan.

Bukan sekali dua saja, kaca jendela rumah tetangga yang juga dipecahkan dengan dilempar batu.

Walakin segala yang dilakukan Jang Iwan, anaknya Nyi Kokom dan Jang Engkos itu, bukan tanpa sebab. 

Anak-anak teman sepermainan, bahkan kadang-kadang ada juga orang dewasa yang suka iseng mengganggu, atau juga mengolok-olok Jang Iwan. Lantaran itu juga akhirnya Jang Iwan pun timbul amarahnya sampai sulit untuk dikendalikan.

Memang demikian, kondisi Jang Iwan - anak dari pasangan muda Jang Engkos dengan Nyi Kokom, sejak lahir sudah memiliki kelainan.

Menurut dokter yang pernah mendiagnosanya di rumah sakit, ketika Jang Iwan berumur dua tahun, selain menderita cacat fisik, yakni sebelah tangan dan kakinya lumpuh, juga bicaranya pun gagap, serta perilakunya begitu hiperaktif.

Sehingga anak pertama pasangan muda itu begitu merepotkan. Bahkan membuat Jang Engkos maupun Nyi Kokom, terkadang sampai merasa kewalahan.

Hanya saja untunglah meskipun cuma tamatan sekolah dasar, Jang Engkos orangnya supel dan punya pergaulan yang luas.

Meskipun berbeda kampung dengan saya, dan usianya juga jauh lebih muda dari saya, tapi Jang Engkos pun berteman cukup akrab dengan saya. Kebetulan kami sering bersama-sama menghadiri pengajian di majelis taklim yang diselenggarakan di salah satu pesantren terbesar di daerah kami. Sehingga saya pun mengetahui keadaan anak sulungnya itu.

Sejak mengetahui keadaan anaknya itu juga, Jang Engkos sering meminta saran dari saya. Bagaimana cara memperlakukan anaknya. 

Sungguh. Saya sendiri bukan seorang psikolog, apa lagi pakar di bidangnya tersebut. Hanya saja melalui banyak membacalah, dan terkadang mengikuti seminar, sedikitnya saya menjadi tahu tentang hal itu.

Paling tidak saya seringkali memberikan dorongan moral, agar senantiasa tabah, dan ikhlas dalam menghadapi anak pertamanya yang memiliki kelainan ini. 

Malahan sebagaimana mitos di daerah kami, bahwa jika memiliki anak yang mempunyai kelainan, seperti halnya cacat fisiknya, ataupun keterbelakangan mental, konon katanya akan membawa hoki baik, paling tidak rezekinya akan mengalir lancar.

Bisa jadi seperti yang dialami oleh Jang Engkos, entah memang sesuai mitos, entah karena rajin mencari peluang usaha, sebagaimana sekarang ini, anak muda itu melakoni tiga jenis usaha. 

Selain tiap hari keliling jualan kue ke warung-warung, dan yang dijalaninya sejak masih bujangan, dia pun masih sempat beternak ayam potong yang dipanen sekitar satu bulan sekali. Sedangkan usaha yang ketiga adalah jual-beli sepeda motor.

Hanya saja selain hasilnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, ia pun tetap berikhtiar untuk mengobati anaknya. Paling tidak sesekali berkonsultasi ke psikiater. 

Dan yang tak kalah menjadi perhatiannya manakala Jang Iwan mencederai teman-temannya, atau juga merusak barang milik tetangga, apa boleh buat, Jang Engkos kudu bertanggungjawab untuk mengobati sampai sembuh, atau mengganti barang yang sudah dirusak anaknya.

Sementara untuk memohon pengertian warga sekitar akan keadaan anaknya, paling tidak jangan lagi diganggu, atau di- bully - seperti yang pernah saya sarankan, Jang Engkos seringkali mengadakan pendekatan baik kepada teman-teman sebaya anaknya, maupun kepada orang-orang yang telah dewasa.

Adapun caranya, dengan mengadakan selamatan di rumahnya, misalnya dalam rangka peringatan maulid Nabi, atau pengajian insidental. Dan saya pun selalu menyempatkan diri untuk menghadiri. Karena diundang, tentu saja. 

Biasanya sebelum acara pokok dimulai, sambil ngobrol saya meminta hadirin untuk tidak mengusik, mengolok-olok anak Jang Engkos yang memiliki kelainan. Sebab selain bukan keinginannya, juga selalu saya tekankan dengan sebuah pertanyaan, "Bagaimana kalau sekiranya bapak-bapak sendiri ditakdirkan memiliki anak yang mempunyai kelainan, seperti yang sekarang dialami keluarga Jang Engkos?

Bahkan dengan dibantu oleh Ajengan yang biasa memimpin acara, dijelaskannya, bahwa di dalam ajaran agama Islam juga disebutkan bahwa Allah tidak melihat pada tubuh dan bentuk rupa seseorang, tetapi Allah melihat kepada hati umat mereka. 

Hal ini memperlihatkan bahwa kemuliaan seseorang di sisi Allah tidaklah diukur karena bentuk fisik dan rupa sebagaimana telah menjadi alat peminggiran kelompok difabel selama ini, tetapi Allah melihat hati dan kebaikan-kebaikan yang muncul akibat hati seseorang yang bersih.

Begitulah. Dengan kegiatan yang menyiratkan permohonan "Jangan ganggu dan jangan bully anak kami", sebagaimana suar hati keluarga pasangan muda itu,  dan hasilnya, sekarang ini anak Jang Engkos sudah jarang berbuat ulah yang membahayakan lagi. 

Hal itu bisa jadi lantaran warga di sekitar kampung sudah memahami, dan menerima kelainan yang dimiliki anak dari pasangan muda tersebut. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun