Irwan adalah seorang mahasiswa yang sejak awal perkuliahan tidak pernah berpikir untuk jatuh cinta. Baginya, belajar adalah hal yang utama. Namun, di semester enam, hatinya mulai terusik. Bukan oleh teori atau tugas-tugas kuliah, melainkan oleh seorang perempuan bernama Nunik. Nunik adalah sosok yang cantik, cerdas, dan memiliki senyum yang mampu membuat hati siapa pun luluh.
Azis, sahabat baiknya, selalu menyemangati Irwan agar ia berani mengungkapkan perasaannya. "Ojo kendor, Wan! Kalau kamu suka, ungkapkan saja!" ucap Azis dengan semangat.
Dengan hati berdebar, Irwan akhirnya memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya. Namun, dunia tidak selalu berpihak kepada keberanian. Nunik menolak. Ia dengan lembut menjelaskan bahwa saat ini ia ingin fokus pada kuliahnya dan belum siap untuk menjalin hubungan.
Penolakan itu membuat hati Irwan hancur. Ia merasa sakit, galau, dan kecewa. Air mata pun jatuh tanpa ia sadari. Malam-malamnya menjadi panjang, dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang menggantung di udara, kenapa ?. Namun, Azis tetap berada di sisinya, membantunya bangkit kembali. Lambat laun, Irwan mulai menemukan dunianya kembali, sibuk dengan kegiatan lain hingga akhirnya ia lulus bersama Azis dan Nunik.
Waktu berlalu, kehidupan membawa mereka ke jalan meraka masing-masing. Irwan mendapatkan pekerjaan yang baik dan setelah dua tahun bekerja, ia bertemu dengan Dewi di pendakian Gunung Slamet. Pertemuan yang tidak diduga itu berujung pada pernikahan. Irwan akhirnya menemukan kebahagiaannya.
Suatu hari, ponselnya berdering. Sebuah nomor yang tak asing muncul di layar. Hatinya bergetar, itu Nunik. Sejak lulus, ia tak pernah mengganti nomornya, sehingga semua teman kuliahnya masih bisa menghubunginya. Namun, Irwan memilih untuk tidak mengangkatnya. Kenangan lama yang sudah ia kubur perlahan, tak ingin ia bangkitkan lagi.
Panggilan itu terus masuk, hingga akhirnya sebuah pesan muncul.
Irwan, ini ayah Nunik. Kami ingin menyerahkan sebuah kotak untukmu.
Irwan tetap tak menggubrisnya. Ia merasa ada yang sedang mengusik ketenangannya. Dengan cepat, ia menghapus pesan itu dan memblokir nomor tersebut.
Dua hari kemudian, Azis tiba-tiba muncul di kantornya di Jakarta.
"Wan, ini untukmu," kata Azis sambil menyerahkan sebuah kotak kayu berukiran Jepara.
"Apa ini?" tanya Irwan bingung.
"Ini dari orang tua Nunik. Dulu Nunik pernah menitipkannya untuk diserahkan padamu suatu hari nanti."
Dengan hati berdebar, Irwan membuka kotak itu. Di dalamnya, ia menemukan surat-surat bertuliskan namanya. Tangannya gemetar saat membaca kata-kata yang ditulis Nunik bertahun-tahun lalu.
Irwan, aku selalu mencintaimu. Aku hanya ingin menepati janjiku untuk fokus pada kuliah dan pekerjaan terlebih dahulu. Tapi aku tahu, mungkin saat kau membaca ini, semuanya sudah terlambat.
Di bawah surat itu, terdapat sebuah kalung dengan liontin kecil berbentuk hati. Di belakang liontin itu terukir tulisan Untuk Irwan, cintaku yang tak pernah pudar.
Irwan menatap liontin itu lama. Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. Ia menatap Azis dengan penuh tanya. "Di mana Nunik sekarang?"
Azis menundukkan kepala, menarik napas panjang, lalu berkata lirih, "Nunik telah pergi, Wan. Dia meninggal dua minggu yang lalu karena sakit. Ia ingin sekali bertemu denganmu sebelum kepergiannya, tapi tak sempat."
Dunia seakan runtuh di hadapan Irwan. Sesak menghimpit dadanya, dan tangannya bergetar saat menggenggam liontin itu erat-erat. Ia tersungkur di kursinya, menangis tanpa suara.
Kini, cinta itu benar-benar datang terlambat. Tidak ada kesempatan kedua, tidak ada kata yang bisa ia sampaikan. Yang tersisa hanya kenangan dan sebuah liontin kecil yang akan selalu mengingatkannya pada cinta yang ia lewatkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI