"Wan, ini untukmu," kata Azis sambil menyerahkan sebuah kotak kayu berukiran Jepara.
"Apa ini?" tanya Irwan bingung.
"Ini dari orang tua Nunik. Dulu Nunik pernah menitipkannya untuk diserahkan padamu suatu hari nanti."
Dengan hati berdebar, Irwan membuka kotak itu. Di dalamnya, ia menemukan surat-surat bertuliskan namanya. Tangannya gemetar saat membaca kata-kata yang ditulis Nunik bertahun-tahun lalu.
Irwan, aku selalu mencintaimu. Aku hanya ingin menepati janjiku untuk fokus pada kuliah dan pekerjaan terlebih dahulu. Tapi aku tahu, mungkin saat kau membaca ini, semuanya sudah terlambat.
Di bawah surat itu, terdapat sebuah kalung dengan liontin kecil berbentuk hati. Di belakang liontin itu terukir tulisan Untuk Irwan, cintaku yang tak pernah pudar.
Irwan menatap liontin itu lama. Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. Ia menatap Azis dengan penuh tanya. "Di mana Nunik sekarang?"
Azis menundukkan kepala, menarik napas panjang, lalu berkata lirih, "Nunik telah pergi, Wan. Dia meninggal dua minggu yang lalu karena sakit. Ia ingin sekali bertemu denganmu sebelum kepergiannya, tapi tak sempat."
Dunia seakan runtuh di hadapan Irwan. Sesak menghimpit dadanya, dan tangannya bergetar saat menggenggam liontin itu erat-erat. Ia tersungkur di kursinya, menangis tanpa suara.
Kini, cinta itu benar-benar datang terlambat. Tidak ada kesempatan kedua, tidak ada kata yang bisa ia sampaikan. Yang tersisa hanya kenangan dan sebuah liontin kecil yang akan selalu mengingatkannya pada cinta yang ia lewatkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI