Shanti meletakkan sepeda motornya di depan parkiran sebuah restoran siap saji. Keduanya melepaskan helm yang membungkus kepala mereka. Mereka mendengus napas kecil sambil meletakkan helm di atas jok sepeda motor. Mereka langsung bergegas menarik pintu yang berada di hadapan mereka. Matanya menelusuri setiap meja yang terdapat di dalamnya. Bola matanya menemukan seorang perempuan sedang bertopang dagu sambil mengetuk pelan meja makan.
               “Hei, Fanny!“
               Fanny mengalihkan pandangannya ke sumber suara yang memanggil dirinya. Ia mengamati dua orang perempuan berdiri sambil melambai-lambaikan tangannya. Ternyata, ia mengenali keduanya—Lina dan Shanti. Ia menyuruh kedua temannya menghampiri meja yang sudah disediakan.
               “Jadi..., kamu sudah lama menunggu di sini?“ tanya Shanti ragu.
               “Lamaaa, banget. Kalian tahu tidak, aku hampir saja berjamurmenunggu kedatangan kalian.“ raut wajah Fanny sedikit kecut.
               “Sorry deh. Lain kali, kami gak bakalan telat kok,“ Lina menepuk pelan pundak temannya. Fanny memejamkan mata sejenak seraya menghela napas pendek.
               “Ngomong-ngomong, di mana makanannya? Aku sudah lapar.“ Shanti menelan ludah kering sambil mengelus perut ratanya.
               “Sabar. Aku baru saja memesannya pada pelayan.“
Sembari menunggu pesanan mereka tiba, Shanti membuka perbincangan hangat di tengah ramainya para pelanggan restoran yang makan di sana. Shanti berbicara tentang cowok-cowok keren yang selalu menjadi bahan obrolan setiap perempuan di sekolahnya. Fanny juga tak mau kalah dengan Shanti. Tapi kalian ini, bukan soal cowok-cowok idola di sekolah mereka, tapi mengenai para guru yang mengajar di kelas mereka.
Di antara semua guru yang mengajar di kelas mereka masing-masing, hanya satu guru yang berkesan di ingatan Fanny—Pak Sudi. Pak Sudi adalah guru bahasa Inggris favoritnya. Fanny bercerita kalau Pak Sudi adalah guru humoris. Ditambah lagi, cara penyampaian materi yang mudah dimengerti karena diselingi games unik dan banyolan mengocok perut sehingga dirinya yang awalnya tak suka bahasa Inggris menjadi suka.
Lain halnya dengan Lina. Ia hanya menanggapi cerita temannya dengan suara kantuk kecil dari mulutnya. Mau pak Sudi atau guru lain manapun tidak ada yang berkesan di hatinya. Ia beranggapan bahwa guru adalah sosok yang membosankan. Mereka adalah sekumpulan orang yang cuma hanya bisa memberikan materi pelajaran. Menguji anak didiknya dengan soal-soal ujian yang membuat mumet kepala dan terkadang di luar meteri yang sudah dipelajari.