Penulis generasi lama dan baru pasti mengenalnya, karena ia merupakan kelahiran generasi masa peralihan dari buku cetak ke digital. Bang Don, begitu aku memanggilnya, menjadi saksi sejarah betapa nafas sastra di Kota Pontianak ini megap-megap.
Aku sudah lama tak berkunjung ke Jurang Kunang-Kunang, karena selalu mengingatkan tentang mimpi-mimpiku yang rapun diterjang kenyataan. Tempat itu tidaklah seperti namanya, bukan "jurang" yang sebenarnya. Ia adalah suatu kompleks pemakaman yang di dalamnya terbaring para penulis dari generasi pertama kota ini. Bahkan batu-batu nisan di tempat ini dibentuk mirip seperti buku tebal yang terbuka.
Setiap malam, di Jurang Kunang-Kunang, selalu bermunculan kunang-kunang tanpa mengenal musim. Ada yang bilang mereka merupakaan jelmaan orang-orang kreatif yang terkubur di sana, menjadi kunang-kunang untuk menemani insan sastra yang kesepian di kegelapan.
Aku menemukan Pradono sedang duduk mengheningkan cipta. Tubuhnya dikerubungi ratusan kunang-kunang. Lama tak bertemu, Pradono tampak jauh lebih kurus, tulang-tulang di tangannya terdefinisi dengan jelas. Misainya mulai menipis dan memutih. Tapi jelas dari matanya yang tegas menyiratkan "aku belum menyerah".
Pelan-pelan kubisikkan maksud kedatanganku untuk meminta nasihat darinya demi memperlancar proses pembuatan naskah cerita pendek yang sedang kugarap. Pradono memandangiku cukup lama. Ia kemudian memberitahuku sesuatu, rencana yang jauh lebih besar daripada satu naskah.
Pradono berkata, "Aku telah berbicara dengan banyak pesohor provinsi ini, tapi mereka hanya mentertawakanku. Mungkin di mata mereka, suara seorang pembaca puisi hanyalah gaung di panggung."
"Tapi, apakah yang kau sampaikan tadi benar-benar perlu dilakukan, Bang?"
Pradono tersenyum. "Ayo kita temui Sokka. Orang gila hormat dan popularitas seperti dia pasti akan setuju. Aku pun baru terpikir bahwa dia tak terlahir sia-sia ke dunia."
***
Dari lantai dua, kulihat para pemuda bolak-balik masuk ke dalam ruangan. Beberapa di antaranya membawa buku-buku yang sangat akrab dalam keseharianku semisal buku "Sastra dan Ilmu Sastra" karya Prof. Dr. Andries Hans Teeuw, dan lain-lain.
Kemudian aku merasakan seseorang menepuk pundakku dari belakang. Rupanya kepala yayasan sedang "patroli" mengawasi daerah kekuasaannya.