"Tutup mulutmu," kataku agak tegas namun pelan. Lalu kukeluarkan sejumlah uang. "Ini cukup?"
Sokka mengangguk, tangannya lekas menyambar uang yang kuserahkan. "Lama kau tak ke sini. Pergi ke mana?"
"Biasalah. Cari uang."
"Akhirnya sadar juga kau. Sastra susah bikin kaya. Orang-orang sekarang malas baca, malas berpikir. Mau apa-apa instan."
Apa yang Sokka katakan mengejutkan. Meski sakit hatiku mendengarnya, tapi ia tak seluruhnya salah. Mungkin pria berumur empat puluh tahun itu telah mengamati fenomena jatuh-bangun seniman dan penulis di warung kopi. Tepat di depan hidungnya.
"Menurutmu apa yang salah tentang ini semua?" tanyaku serius.
Sokka menatapku dalam-dalam. Ia mengambil waktu sejenak untuk menarik nafas. Bisa juga dia serius selain soal uang. "Menurutmu siapa yang benar-benar mengajarkan sastra di Kota Pontianak ini?"
Lagi-lagi ia membuatku terkejut. Sejak kapan manusia tengik ini pikirannya bisa semaju itu. Aku berusaha menjawab, tapi tiada kata-kata terlontar. Sokka sadar akan gelagatku yang telah tersudut.
"Kabra ... akui sajalah bahwa kalian selama ini hanya bermodalkan buku dan 'ilmu kira-kira'. Begini, bagaimana sastra di Pontianak bisa maju kalau tak ada ahli-ahli yang mengajarkannya sesuai dengan metode akademis. Sementara orang-orang lulusan sastra murni yang dulu belajar di luar pulau tak beri peduli urusan-urusan begini," ujar Sokka.
Sial, "ilmu kira-kira" kata dia. Naik darahku mendengarnya. Tapi itu adalah fakta. Orang dengan jenis seperti aku pasti tunduk di hadapan fakta meski pahit.
Lebih pahit lagi, Sokka memanggilku dengan sebutan lama "Kabra". Asal katanya dari bahasa Spanyol, El Cabra, yang artinya Si Kambing.