Mohon tunggu...
Dicky Armando
Dicky Armando Mohon Tunggu... Administrasi - Orang Biasa

Seseorang yang bermimpi berbuat sesuatu yang luar biasa untuk masyarakat dan negara-nya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Tabib

12 Juli 2021   22:07 Diperbarui: 2 Agustus 2021   22:00 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi obat-obatan dan ramuan tradisional. Sumber: piqsels.com

Jam sebelas malam adalah waktu favorit Holand Parker. Karena pada saat-saat itu ia sudah bisa bersantai di depan klinik herbal miliknya. Sebenarnya dia sudah lama ingin pergi dan membuka bisnis yang lebih besar, namun masyarakat sepertinya masih membutuhkannya sebagai pengelola satu-satunya fasilitas kesehatan di Microville.

Bangunan klinik itu sederhana saja, berbentuk persegi panjang dengan luas empat puluh lima meter persegi. Menyisakan sedikit tanah di bagian depan, dan belakang. Di kanan-kiri bangunan membentang persawahan yang sekarang sedang menguning.

Setelah menghirup kopi dari cangkir, tabib itu mengarahkan pandang ke langit. Ia menikmati segenap kerlap-kerlip cahaya yang disajikan alam untuknya. Parker berpikir tiada yang lebih indah daripada bintang di Microville.

"Harusnya tak begitu buruk lahir dan mati di tempat ini," kata Parker dalam hati kepada dirinya sendiri.

Parker kemudian berdiri untuk menarik nafas panjang sambil meregangkan sendi-sendi tubuhnya. Tapi tarikan nafasnya tertahan ketika seseorang tergeletak tak berdaya persis di depan klinik.

Ia sebenarnya merasa ngeri, lantaran dari tadi tak ada siapa pun di sana. Parker langsung mendekati pria malang itu.

"Dokter ... dokter ...," ucap si pria misterius.

Dia jelas tak tahu bahwa tidak ada satu pun tenaga kesehatan yang mau mengabdi di Microville karena terletak di pedalaman. Jauh dari hiburan, jauh dari modernitas, jauh dari segalanya. Parker merasa tak perlu menjelaskan, apalagi kepada orang yang tubuhnya sedang mengalami demam tinggi.

Di atas sebuah tempat tidur kayu sederhana, Parker membaringkan pasien yang tak jelas asal-usulnya itu.

"Pakaianmu tak biasa. Kau jelas bukan dari sini. Jaket kulit, celana jin, dan sepatu bot. Mereka jarang ditemukan di sini," selidik Parker.

Pria itu hanya menggeleng lemah.

"Siapa namamu, Tuan?"

"Elvis ... Elvis Brown."

***

Parker membuat ramuan berbahan dasar jahe. Dengan dosis tertentu diberikannya kepada si pasien. Selama tiga hari pengobatan berjalan, akhirnya demam yang dialami Brown beranjak membaik.

"Obat apa itu? Luar biasa!" Brown terkesima dengan hasilnya.

"Jahe itu mengandung zingeberin, kamfer, lemonin, borneol, shogaol, gingerol dan zat-zat antioksidan lainnya."

Brown terkejap-kejap matanya. Ia tak sangka tanaman yang pernah tumbuh di pekarangan ibunya bisa membantu penyembuhan. "Wow?"

"Katamu 'wow', Tuan Brown? Masih ada lagi. Jahe juga mengandung beta caroten, capsaicin, asam cafeic, curcumin, dan salicilat. Mereka juga sebagai anti inflamasi di dunia medis."

Sekarang Brown terbatuk-batuk mendengarkan penjelasan Parker.

"Baiklah, mulai besok kita sembuhkan penyakit batuk berdahakmu itu!"

"Aku merasa seperti negro paling beruntung di bumi ini, Tuan Parker!" Brown tertawa terbahak-bahak seperti lupa akan penyakitnya.

***

Mata Brown mengatakan "ramuan apa lagi ini" ketika ia disodorkan segelas cairan beraroma harum.

"Ini berasal dari kencur," kata Parker yang mengerti kekhawatiran Brown.

"Ya, aku pernah mendengar ibu bicara soal benda itu. Apa itu tadi? Kentur"

"Kencur."

"Betul sekali, kencur! Aku hanya mengetes pendengaranmu, Tuan Parker."

Sekali teguk, habis ramuan tersebut. Ekspresi wajah Brown kembali terkejut, ia tak sangka minuman tersebut rasanya enak.

"Obat tak selalu harus pahit, Kawan," kata Parker sambil menumbuk beberapa rempah di meja kayu yang tak jauh dari tempat Brown berbaring."

"Kau benar-benar membaca pikiranku." Brown tersipu. "Jelaskanlah lagi padaku soal kentur ini."

"Kencur!"

"Kencur. Betul sekali. Aku mengetes pendengaranmu untuk kedua kali."

Parker menggeleng. Ia merasa dikerjai tapi sekaligus merasa senang ada pasien yang tertarik soal obat-obatan. Selama ini orang-orang datang hanya untuk dibuatkan obat saja, kemudian pergi. Begitu saja. Namun kali ini ia merasa ilmunya dihargai meski hanya dengan pertanyaan yang sungguh sangat biasa.

"Kencur mengandung senyawa kimia borneol, methyl pcumaric acid, cinnamicacid, ethtyl ester pentadecane, cinnamic aldehyde, dan camphene. Mereka berkhasiat untuk menghangatkan, menghilangkan rasa sakit, memudahkan pengeluaran air dan angin dari tubuh, dan mengencerkan dahak. Kita berharap batuk berdahakmu sembuh dengan itu, Tuan Brown."

Prediksi Parker ternyata benar, penyakit batuk Brown sembuh dalam waktu tiga hari dengan takaran kencur khusus yang dipadukan rempah lain.

Namun Brown masih mengeluh kepalanya merasa berdenyut seperti dilempar martil.

"Rasanya sakit sekali, Tuan Parker!"

"Kupikir harus kite pecahkan."

"Kepalaku?" Brown kaget.

"Bukan, tapi sumber masalahnya."

***

Cahaya mentari pagi melewati jendela klinik Parker. Ia sengaja membukanya lebih awal, agar energi baru bisa memenuhi raga pasiennya yang masih tertidur pulas.

Brown pun terbangun. "Panas sekali wajahku!"

Parker tertawa geli.

"Kau sengaja. Baru saja aku bermimpi bertemu wanita negro seksi!"

"Bukan aku. Itu akibat cahaya matahari," jawab Parker santai. Ia mengantarkan satu ramuan lagi untuk pasiennya.

Terdiam untuk beberapa saat ketika memandang obat tersebut, dan kini ia mulai mengoceh, "Jangan jelaskan apa pun. Aku tahu fungsinya. Ini dilengkapi zat ini, zat itu, dan berkhasiat untuk menyembuhkan sakit kepala. Aku benar?"

"Benar sekali, Tuan. Anda benar-benar berbakat menjadi asisten seorang tabib!"

"Aku bercanda. Apa ini? Aromanya cukup menusuk."

Parker tersenyum. "Isi daun mint adalah mentol, menthone dan metil asetat. Ia juga mengandung monoterpene, menthofuran, dan beberapa mineral lain. Pasienku yang mengalami sakit kepala, biasanya kuberi resep ramuan ini. Mau coba?"

Tak menunggu lama, habis sudah ramuan itu.

"Rasanya tidak enak!" protes Brown.

"Tidak semua obat itu enak, Kawan!"

Brown diam, dari wajahnya tersirat "benar juga". Tak bisa ia membalas kata-kata Parker.

"Ngomong-ngomong tanggal berapa hari ini? Aku sudah lupa waktu."

Parker meraih sebuah kalender kecil bergambar jembatan di musim semi, hadiah dari seorang kolega yang bekerja di kantor pos kota. "Sekarang tanggal dua Juli seribu sembilan ratus sembilan puluh. Apakah kau ada keperluan?"

"Ah ... tidak. Hanya ingin tahu."

***

Brown menyerahkan jaket kulit dan sepatu bot kepada Parker.

"Apa maksudnya?"

"Kau tahu, aku negro yang tak punya uang. Sementara kau orang kulit pucat yang juga butuh uang. Ayolah terima saja."

Meski sebenarnya Parker merasa enggan, karena telah menganggap Brown seperti sahabat, ia tetap harus menerima benda-benda tersebut untuk dijual lagi.

"Baiklah. Aku terima. Apakah ini perpisahan?"

Brown memandangi matahari senja. Malam mulai turun perlahan. "Aku suka tempat ini. Penuh kedamaian. Tak bisa kubayangkan nyawaku selamat."

"Maksudmu?" Dahi Parker mengerut.

"Di tempat asal. Penyakitku yang beberapa waktu lalu hinggap di tubuhku ini telah membunuh jutaan orang. Bahkan rumah sakit modern pun nyaris tak sanggup mengatasinya. Tapi di sini, tanpa televisi dan provokasi, aku sembuh total. Tak disangka!"

"Memangnya dari mana asalmu, Kawan?"

Brown mendekat, lalu memeluk erat Parker. "Aku tak akan melupakanmu, Kawan. Sejujurnya aku pun berasal dari sini, dari Microville, tahun dua ribu dua puluh."

Seperti angin. Brown menghilang dari pandangan. Begitu saja, tanpa bekas, tanpa basa-basi.

****

Dicky Armando, S.E. - Pontianak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun