Mohon tunggu...
Ariyanti Piscesxablue
Ariyanti Piscesxablue Mohon Tunggu... UNTIRTA

Suka membaca novel fiksi, menonton film atau drama, dan ketenangan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Amelia dan Temannya

21 September 2025   18:56 Diperbarui: 21 September 2025   18:56 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Amelia membuka matanya perlahan. Ia mengangkat kedua tangannya dan meregangkan otot-otot mungilnya. Mimpi indah semalam masih membekas: ia berjalan-jalan di kebun binatang bersama Papa dan Mama. Mereka tertawa bersama, melihat monyet, kancil, buaya, dan hewan-hewan lain. Hari itu terasa sempurna.

Amelia tersenyum senang mengingat mimpinya. Ia turun dari ranjang yang berukuran sedang di kamarnya dan berjalan gontai ke kamar sebelah. Dengan tangan kecilnya, ia membuka pintu dan melihat Papa dan Mama. Keduanya sedang berbicara dengan benda pipih yang ditempelkan ke telinga—telepon genggam. Amelia menghampiri mereka, berdiri di hadapan Mama, lalu mengangkat tangan ke atas.

“Mama.”

Mama melirik Amelia sebentar, lalu berbicara kembali. Bukan kepada Amelia, tapi pada benda pipih yang Amelia ketahui bernama telepon genggam.

“Mama, ayo, kita main.”

“Sebentar, sayang. Iya, Pak, saya akan memeriksanya lebih lanjut…,” Mama mengusap puncak kepala Amelia sekilas, lalu berbalik ke arah jendela sambil terus berbicara dengan benda pipih tersebut.

Amelia cemberut karena tak dihiraukan. Tetapi, ia tak patah semangat demi bisa bermain bersama Papa dan Mama. Lalu, ia berjalan ke arah Papa yang duduk di sofa, memeluknya dari samping.

“Papa, ayo, main.”

“Sebentar, Amelia. Papa sedang sibuk,” Papa menulis sesuatu sambil menghimpit telepon di antara telinga dan bahunya.

“Aku mau main. Mau lihat monyet, kancil, dan singa. Aku mau main, Papa!”

Papa tidak menjawab, ia malah memanggil seseorang dengan sedikit berteriak dan menjauhkan benda pipih itu. Kemudian, muncul seorang perempuan berbaju biru di balik pintu. Perempuan berbaju biru itu membopong tubuh mungil Amelia. Amelia memberontak, mendendang serta memukul-mukul udara sambil meneriaki Papa dan Mama.

“Papa, Mama, aku mau main!”

Tetapi, usahanya tak membuahkan hasil. Pintu itu kemudian tertutup, Papa dan Mama tak lagi terlihat olehnya. Amelia mulai menangis, ia tak suka dengan semua ini. Ia tak suka dengan perempuan berbaju biru yang kini sedang berusaha menenangkan dan menghiburnya. Ia hanya mau bermain. Ia hanya mau Papa dan Mama.

***

Mainan berserakan di lantai. Amelia duduk memeluk boneka kelinci kesayangannya, Lili—hadiah ulang tahun dari Papa tahun lalu. Matanya melihat ke arah perempuan berbaju biru yang sedang duduk di sofa, menonton televisi. Amelia memegang telinga panjang dari boneka kelinci tersebut sambil menghela napas, merasa bosan.

Amelia menoleh ke jendela. Di taman, seorang gadis seusianya—lebih tinggi sedikit—tersenyum dan melambaikan tangan. Amelia menoleh ke perempuan berbaju biru, lalu kembali ke jendela. Gadis itu masih melambai.

Lama melihat, Amelia memutuskan untuk berdiri, memeluk boneka kelinci kesayangannya, lalu berjalan ke taman.

“Halo, nama kamu siapa?” Tanya gadis itu setelah Amelia berdiri di hadapannya.

Menunduk malu-malu, Amelia menjawab dengan ragu dan suaranya yang kecil. Gadis itu mengangguk lalu bertanya kembali dengan ceria, “Lalu, ini siapa?” Tanyanya sambil menunjuk ke arah boneka kelinci yang dipeluk erat Amelia.

“Lili.”

“Halo, Amelia, Lili. Aku Nana, salam kenal, ya!”

Gadis itu sangat riang, membuat Amelia merasa terpukau sekaligus nyaman dibuatnya. “Mau main bersama, Amelia?”

Ajakan tersebut membuat Amelia merasa senang, ia sudah lama mengharapkan bermain bersama orang lain, tidak sendiri lagi. Maka, tanpa berpikir panjang, Amelia mengangguk dengan antusias. Ia menarik tangan gadis itu ke dalam rumah. Mereka bermain bersama. Untuk pertama kalinya, Amelia tertawa lepas. Ia tak merasa sendiri.

***

Suara tawa dan ocehan khas anak kecil terdengar di kamar yang didominasi warna merah muda. Terdapat ranjang berukuran sedang, lemari yang lumayan besar, dan mainan-mainan seperti boneka, figura dan sejenisnya berserakan di lantai. Dua tahun berlalu. Amelia dan gadis itu—Nana—menjadi sahabat. Nana adalah satu-satunya yang bisa membuat Amelia tertawa seperti sekarang.

“Sang Pangeran berlari menyelamatkan Tuan Putri… pakai sepeda!”

Amelia tertawa terpingkal-pingkal. Ujung matanya mengeluarkan air, setelah tawanya reda, Amelia berucap,“Mana mungkin Pangeran naik sepeda?”

Nana menyengir konyol.

Keasyikan mereka terganggu saat mendengar ketukan pintu. Mama, Papa, dan perempuan berbaju biru masuk.

“Amelia sayang, mau ikut Mama dan Papa makan malam di luar?”

“Asyik! Boleh aku ajak Nana juga?”

Mama dan Papa saling pandang, tidak menjawab dan diam sesaat, membuat Amelia melunturkan senyumannya dan berkata dengan sedih, “Tidak boleh?”

“Boleh, sayang,” jawab Papa.

Amelia bersorak. Ia berlari ke kamar mandi untuk berganti baju. Sementara itu, Mama menangis dalam pelukan Papa.

***

Amelia memainkan bonekanya bersama dengan Nana di ruang keluarga. Tetapi, Papa dan Mama menghampirinya, jadilah mereka bermain bersama-sama. Akhir-akhir ini Amelia merasa senang karena Mama dan Papa selalu ada di sisi Amelia. Bermain bersama, tidur bersama, makan bersama, bahkan Amelia dimandikan oleh Mama tadi pagi. Meskipun Amelia merasa aneh dengan perubahan sikap kedua orang tuanya, Amelia tak peduli. Amelia sudah puas dan merasa senang karena diperhatikan Mama dan Papa.

Dua hari lalu, mereka mampir ke sebuah gedung. Seorang wanita berjas putih bertanya tentang Nana.

“Seperti apa penampilan Nana?”

“Apakah temanmu punya nama?”

“Apa yang biasanya kalian lakukan bersama?”

“Sejak kapan kamu mulai melihat atau berbicara dengan Nana?”

Amelia merasa aneh dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Amelia bingung. Mengapa mereka bertanya seolah Nana tak nyata?

Tetapi, meski begitu Amelia tetap menjawabnya. Setelah itu, Mama dan Papa memeluknya erat.

“Kami akan selalu ada untukmu, sayang,” bisik mereka, membuat hati Amelia menghangat.

***

Pagi itu, Amelia duduk di ruang keluarga. Ia memeluk Lili, menatap kosong ke arah tempat biasa Nana duduk. Tapi hari ini, tempat itu kosong.

“Nana?” bisiknya.

Sunyi.

Hanya suara jam dinding yang berdetak. Amelia menunduk. Ia tahu betul. Temannya telah pergi, dan mereka mungkin tidak pernah bertemu lagi.

Ia berjalan ke kamarnya, mengambil kotak kecil, mengusap Lili sebentar—yang kelembutannya sudah hilang dan warna yang pudar, lalu meletakkannya di dalam kotak.

“Terima kasih, Nana. Karena sudah menemani kesepianku,” ucapnya dengan nada yang lirih dan sarat akan kesedihan. Setetes air jatuh, membasahi pipi tembamnya. Rasa itu kembali hadir, rasa kehilangan dan kesepian.

Mama masuk, memeluk Amelia dari belakang, memberi kehangatan yang baru-baru ini ia rasakan, “Sudah siap sarapan, sayang?”

Amelia mengangguk.

“Ma, aku sayang Mama.”

Mama tersenyum, menahan air mata, “Mama juga sayang Amelia.” Ujarnya.

Mereka berjalan ke ruang makan. Di belakang mereka, cahaya pagi menyinari kotak kecil di atas meja. Di dalamnya, Lili tersenyum diam—menjadi saksi bisu dari masa kecil yang pernah sepi, dan kini telah terisi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun