Amelia membuka matanya perlahan. Ia mengangkat kedua tangannya dan meregangkan otot-otot mungilnya. Mimpi indah semalam masih membekas: ia berjalan-jalan di kebun binatang bersama Papa dan Mama. Mereka tertawa bersama, melihat monyet, kancil, buaya, dan hewan-hewan lain. Hari itu terasa sempurna.
Amelia tersenyum senang mengingat mimpinya. Ia turun dari ranjang yang berukuran sedang di kamarnya dan berjalan gontai ke kamar sebelah. Dengan tangan kecilnya, ia membuka pintu dan melihat Papa dan Mama. Keduanya sedang berbicara dengan benda pipih yang ditempelkan ke telinga—telepon genggam. Amelia menghampiri mereka, berdiri di hadapan Mama, lalu mengangkat tangan ke atas.
“Mama.”
Mama melirik Amelia sebentar, lalu berbicara kembali. Bukan kepada Amelia, tapi pada benda pipih yang Amelia ketahui bernama telepon genggam.
“Mama, ayo, kita main.”
“Sebentar, sayang. Iya, Pak, saya akan memeriksanya lebih lanjut…,” Mama mengusap puncak kepala Amelia sekilas, lalu berbalik ke arah jendela sambil terus berbicara dengan benda pipih tersebut.
Amelia cemberut karena tak dihiraukan. Tetapi, ia tak patah semangat demi bisa bermain bersama Papa dan Mama. Lalu, ia berjalan ke arah Papa yang duduk di sofa, memeluknya dari samping.
“Papa, ayo, main.”
“Sebentar, Amelia. Papa sedang sibuk,” Papa menulis sesuatu sambil menghimpit telepon di antara telinga dan bahunya.
“Aku mau main. Mau lihat monyet, kancil, dan singa. Aku mau main, Papa!”
Papa tidak menjawab, ia malah memanggil seseorang dengan sedikit berteriak dan menjauhkan benda pipih itu. Kemudian, muncul seorang perempuan berbaju biru di balik pintu. Perempuan berbaju biru itu membopong tubuh mungil Amelia. Amelia memberontak, mendendang serta memukul-mukul udara sambil meneriaki Papa dan Mama.