Mohon tunggu...
Ariya Hadi Paula
Ariya Hadi Paula Mohon Tunggu... Penulis - Penulis adalah Fiksionis, jurnalis independen dan kolomnis sosial humaniora.

Alumni IISIP Jakarta, pernah bekerja di Tabloid Paron, Power, Gossip majalah sportif dan PT Virgo Putra Film sebagai desainer grafis dan artistik serta menjadi jurnalis untuk Harian Dialog, Tabloid Jihad dan majalah Birokrasi. Saat ini aktif sebagai Koordinator masyarakat peduli dakwah & peradaban (MPDP) Al Madania dan pengurus Yayasan Cahaya Kuntum Bangsa (YCKB).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cyclone

30 September 2022   22:41 Diperbarui: 6 September 2023   12:14 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 CYCLONE

By Ariya Al Batawy

Lelaki tua gemuk dan berkacamata tebal itu mengangkat sebuah kardus air mineral. Gerakannya yang tergesa disertai raut wajahnya yang muram, menanandakan kepanikan. Setelah menemukan tempat yang sedikit luas dan datar di teras rumahnya, lelaki itu segera menuangkan isi kardus. Maka berserakanlah kepingan Compact Disc (CD) dan kaset  'jadul' produksi era 90-an.

"Mami gimana sih, kok lupa kalau Papi simpan kaset di bawah tangga,"sungut lelaki itu sambil mengelap satu per satu kepingan CD dan kaset dengan tisu basah.

Pekerjaannya itu dilakukan dengan sangat lembut dan perlahan selayaknya memperlakukan barang berharga laksana emas atau permata.  Ketika diraba, kardus sampul-sampul koleksi masa mudanya terasa kering. Namun saat dibuka terasa keras dan beberapa bagian kertas sampul merekat dengan kotak pembungkus CD dan kaset.

Kepanikannya kian bertambah, begitu juga kegusarannya kian meningkat.  Dua sampai tiga keping album The Beatles dan Duran-duran dapat dilepaskan dari kotak. Tapi selebihnya sulit dibuka dan dipisahkan kertas dari kotak pembungkusnya, bahkan beberapa keping kaset sama sekali tidak bisa dikeluarkan dari kotak karena melekat dengan cover album serta dipenuhi tanah basah.

"Aduh Mami, ini sih kaset Papi terendam banjir. Uuh Mami gimana sih?!" serapah lelaki itu lagi sementara yang diajak bicara cuma menunjukan ekspresi cemberut.  Uniknya, meski gusar, panik dan kecewa namun lelaki berkacamata tebal itu terus bekerja dengan lembut dan telaten agar koleksi album musisi kesayangannya itu tidak rusak lebih parah.

"Aduh Papi kok ribet banget sih.  Kan tinggal download dari internet  atau buka YouTube aja lebih praktis," jawab istrinya ketus.

Sebetulnya dia ingin  marah atas komentar perempuan yang telah dinikahinya 23 tahun yang lalu. Namun amarahnya tertahan ketika tangannya  memegang  sebuah kaset dengan title "The Cyclone" disertai ilustrasi seekor anjing kecil dinaungi angin puting beliung.  Dicoba dibuka kotak pembungkus lalu dikeluarkan perlahan sekeping kaset isinya.  Perasaannya senang karena mudah membuka dan melepas kaset dari bungkusnya.

Kini giliran melepas kertas sampul dari kotak. Seperti sebelumnya, kertas telah melekat sebagian pada kotak, maka lelaki itu harus berkonsentrasi menyelesaikan misinya dan tentu saja mengabaikan kritik sang istri.

Perlahan dan lembut ditariknya kertas sampul dari kotak.  Kesabarannya membuahkan hasil, cover mini album karya dirinya semasa remaja dapat direntangkan dengan sempurna.  Walau warnanya kusam dan foto yang terpampang agak memudar, namun tulisannya masih dapat dibaca jelas.

"Kita sambut..., Risky Lennon, Renson, Anton dan Andri!  The Cyclone Band!" teriak pembawa acara festival musik antar kampus memperkenalkan personil kelompok musik bentukan lelaki itu pada masa lalu. Pengantar sang host pada penampilan perdana Cyclone di muka publik, selalu terngiang dan terkenang hingga sekarang.

Diperhatikannya dengan seksama setiap tulisan dan gambar yang sebagiannya memudar.  Namun tatapan tajam meneliti berangsur melemah berganti tatapan sendu menerawang.  Perlahan terbayang masa-masa jaya sewaktu kuliah manajemen transportasi udara di Universitas Trisakti.

Kiky, begitu Risky muda biasa dipanggil,  adalah vokalis handal Cyclone Band. Sejak lulus Sekolah Menengah Atas (SMA), Kiky memutuskan serius menekuni hobinya di masa kanak-kanak yaitu  nyanyi metal di kamar mandi.  Beruntung hobi melantunkan lagu-lagu cadas  didukung kedua orangtuanya.  Mulai dari Bohemian Rhapsody-nya Queen,  Bed Of Rose-nya Bon Jovi,  The Unforgiven-nya Metallica sampai tembang Rumah Kita milik rock band nasional God Bless kerap dilantunkan di setiap kesempatan.

Tapi paling sering  'dipentaskan oleh Kiky remaja saat jam istirahat sekolah, di angkot, dan di kamar mandi, pastinya tembang-tembang lawas The Beatles!  Puluhan koleksi album grup musik legendaris asal Liverpool (UK)  disimpan rapi pada sebuah etalase kecil yang tergantung di dinding.  Lebih dari 20 judul lagu karya John Lennon dan Paul Mc Cartney cs dikuasai Kiky. Begitulah kisah di balik predikatisasi Risky Lennon.

"Ki! Kiky!" teriak seseorang dari luar teras rumah membuyarkan lamunan Risky dewasa.

Tepat di  depan pintu masuk telah berdiri  lelaki seumuran dengan penggemar fanatik John Lennon. Hanya saja perawakannya lebih tinggi dan sedikit gempal.  Sebuah gitar akustik produksi pabrik  terkenal asal Jepang terus dipetik memainkan melodi moderato. Melihat sosok tamu yang menyapanya, Risky Lennon segera membukakan pintu halaman.

"Wuih, Yngwie Malmsteen nongol juga. Panjang umur Lu Son.  Gua baru aja bongkar koleksi kaset yang kebanjiran minggu lalu. Eh ketemu demo album kita dulu," ujar sang vokalis bersemangat sambil merangkul sahabatnya masuk ke ruang tamu.

"Mi, Mami, ini Bang Renson sudah sampai. Sediakan minum dulu, soalnya Kita mau keluar sebentar," teriaknya sambil menyingkirkan setumpuk CD dan kaset yang telah selesai dibersihkan. Sementara sang tamu asik melanjutkan memainkan dentingan nada-nada 'church harmony' yang sering dimainkan maestro gitar elektrik Yngwie Malmsteen.

"Mau kemana sih Bang? Anak-anak udah pada gede, kok masih suka ngamen. Bukan udah pada punya gaji?" selidik Mami sambil menyuguhkan secangkir kopi panas di meja.

"Bukan ngamen, apalagi nongkrong wahai Mami cantik. Cuma sekadar mengenang masa lalu. Tapi kalau ada yang nyawer, ya bagus lah," jawab sang gitaris tanpa menghentikan petikannya pada senar.

"Tapi kan pade kagak muda lagi. Kalau masuk angin gimana?" tanya Mami lagi  namun sedikit ketus. Tidak ada jawaban dari sang tamu selain tawa terbahak-bahak.

Sebentar kemudian kedua sahabat, personl Cyclone Band sudah berada di pusat kota.  Hanya dengan satu moda transportasi bus Trans Jakarta dan dua kali transit mereka sudah tiba di depan Sarinah Thamrin dari Kebon Jeruk dalam tempo kurang dari 45 menit.

"Gimana kabar adik Kau?" tanya Renson saat keduanya menyusuri  parkiran Sarinah.

'Wuih, susah ketemu Son. Anton  jadi pejabat struktural," jawab Risky bangga tentang adik kandungnya yang juga personil Cyclone sebagai pemain bass.

"Kalo Andri?" tanya Renson lagi.

"Wuih, sama susahnya. Kalo kagak salah drummer Kita itu lagi ada proyek di Bali," jelas yang ditanya.

"Wuih mantap!"  sambut sang gitaris; Keduanya terhenti sejenak, lalu tertawa terbahak berbarengan membuat para pejalan kaki lain menyingkir dan curiga pada kedua orang tua tersebut.

Selanjutnya sepanjang Jalan Sabang mereka menyusuri berdua sambil melantun tembang-tembang slow rock milik White Lion, Europe, Bon Jovi dan tentu saja aksi covered Renson atas karya idolanya Yngwie Malmsteen.   Menjelang malam semakin banyak warung tenda yang buka dan semakin melimpah juga para pemburu kuliner memadati bahu jalan.

Penuhnya warung tenda oleh pengunjung, membawa limpahan receh bagi sepasang pengamen tua yang hanya sesekali konser jalanan. Belum sampai dua jam bertandang dari satu tenda ke tenda lain, kedua kantung celana sang vokalis sudah terisi penuh oleh recehan logam dan kertas. Entah karena iba atau apresiasi atas vokalisasi Risky Lennon yang masih solid pita vibrasinya atau lantaran petikan jemari Renson Malmsteen yang garang namun tetap melodius. Apapun alasannya recehan yan terkumpul membuat pengamen lain iri dan memandang sinis disertai lintasan pikiran jahat.

"Son, balik ah. Kita naik di halte BI oke?" ujar sang vokalis setelah menghitung dan merapikan recehan perolehan mereka malam itu.

Sang gitaris hanya manggut-manggut sambil terus memainkan gitar.  Bagi yang memperhatikan pasti akan takjub melihat endurance alias daya tahan Renson memetik gitar seharian penuh nonstop.  Tapi ada juga sih yang menduga dia autis positivis yang menyalurkan energi pada gerakan memainkan gitar sebagai bentuk terapi sekaligus healing.  Sebagaimana Brian May gitaris Queen atau Bimbim Slank yang tak bisa lepas dari alat musik kesayangannya. Pastinya sih bukan begitu, sebaliknya mereka adalah profesional yang tak dapat dilepaskan dari pasangan hidup mereka yaitu gitar dan stick drum.

Namun sebelum sampai  halte bus way Bank Indonesia (BI), keduanya melepas lelah di sebuah bangku trotoar depan Hotel Sari Pan Pasific.  Udara malam di tengah kota  tak sedingin di tepi pantai apalagi puncak. Bangunan pencakar langit serta banyaknya masyarakat yang pelesiran,  membuat suasana hangat juga berkeringat.  

Begitu dialami  duo pengamen jalanan, hingga tetes terakhir air mineral di botol ukuran 60 mili liter, tak juga hapus dahaga mereka. Tapi haus nyatanya bukan masalah,  sang gitaris mulai memetik lagi senar-senar melodinya kemudian disambut vokalisasi  partner. Kali ini mereka  melantunkan lagu-lagu Bon Jovi.  Diawali  Always, Never Say Good Bye hingga Bed Of Rose, sementara petikan gitar akustik Renson terus meningkahi.

Bersamaan dengan itu, sekeping dua keping koin dan selembar dua lembar uang kertas Rp5000,-an diletakan orang-orang yang lalu lalang. Ada yang dengan perlahan di hadapan mereka tapi ada juga yang melempar hingga masuk ke kolong kursi.  Sesungguhnya kedua lelaki tua itu  tidak bermaksud ngamen, entah siapa yang memulai meletakan uang di depan kursi, pastinya dia berjiwa dermawan atau apresiatif atas kreativitas seni.

Demi melihat recehan yang  terus terkumpul di hadapan, maka Renson makin bersemangat memainkan  raungan nada hard rock karya Bon Jovi dalam versi akustik.  Selanjutnya beberapa master piece grup band asal amrik tersebut  dipertunjukan eks personil Cyclone. Sampai pada lagu ketujuh keduanya berhenti kelelahan.

Plok! Plok! Plok!  Applause dari seorang renta dari atas kursi rodanya.  Kedua pengamen itu manggut hormat atas apresiasi yang diberikan pekursi roda itu. Setelah diperhatikan dengan seksama, lelaki renta berjaket kulit itu adalah Warga Negara Asing (WNA) berkulit putih.

"Ekspatriat, tuh Son...." jelas Risky Lennon yang disambut manggut-manggut kagum sang gitaris jalanan. Namun dalam hatinya menerka-nerka sosok lelaki renta itu pernah dikenalnya.

Sementara lelaki di kursi roda berbicara pelan kepada perempuan muda yang mendorongkan kursi. Perempuan berambut pirang itu memanggil lelaki remaja berpakaian kemeja rapih, lalu dia segera mengeluarkan beberapa lembar uang kertas yang segera menyerahkannya pada lelaki renta di kursi roda.

Lelaki renta itu mengayuh sendiri kursi roda ke arah dua pengamen tua. Kemudian diserahkannya sejumlah uang kertas tadi kepada pemain gitar, sedang vokalis berupaya mengumpulkan recehan ke dalam kantong plastik.

Pekursi roda itu mengacungkan jempol berkali-kali pada Renson yang cuma bisa berkata, "Thank You, Sir!"

Melihat niat lelaki renta tadi sudah terwujud,  perempuan pendampingnya segera mendorong kursi roda dan mereka bertiga bergegas menuju lobi Hotel Sari Pan Pasifik. Sebuah mobil van biru langit telah menunggu.  Dua orang Bell Boy melipat dan memasukan kursi roda ke bagasi belakang, sedangkan perempuan pirang tadi memapah lelaki bule renta ke dalam Van.

"Gokil! 500 dollar nih Son, sekitar Rp7,5 juta tahu!" sorak Risky Lennon kegirang saat sang gitaris menyuruh menyimpan pemberian dari bule yang diduga ekspatriat tadi.

Saat itulah datang mendekat seorang petugas keamanan hotel dengan Handie Talkie (HT) yang 'rame sendiri'menggetarkan jiwa. Khawatir dihardik, apalagi diamankan maka kedua pengamen jalanan pasang kuda-kuda untuk ambil langkah seribu alias kabur.

"Beh, tadi dikasih duit ya sama bule tadi?" tanya ramah membuat keduanya bimbang menjawab.   Pada sisi lain keduanya was-was jikalau sekuriti minta jatah.

"Beh, tahu kagak dia itu siapa?" tanya sekuriti itu lagi. Jawabannya hanya gelengan kepala.

"Richie Sambora. Tuh beh nah. nah itu bule udah mau berangkat ke bandara," jelasnya  sambil menunjuk mobil Van biru langit yang bergerak perlahan keluar area hotel.

"Richie Sambora gitaris Bon Jovi?" tanya Risky Lennon dengan mata terbelalak.

"Masa Saya bohong Beh.  Ada konferensi musik internasional di SPP. Richie Bon Jovi narasumbernya. Udah ya Beh, tuh mau keluar," jawab sekuriti muda sambil turun ke jalan raya untuk mengamankan Van biru langit yang sudah berada persis depan gerbang keluar hotel.

"Richie! Richie! Thank You! We love You!" teriak histeris kedua pengamen tadi sambil berlari-lari kecil mendekati Van yang sudah masuk ke Jalan Raya Thamrin.

Mobil Van tak mengurangi kecepatannya, tapi kaca jendela penumpang turun perlahan. Tampak lelaki renta tersenyum sumringah sambil mengacungkan jempol kepada duo pengamen. Dari senyum dan tatapannya menggambarkan mengekspresikan kebahagiaannya karena karya-karya legendarisnya  dihargai dan dimainkan dengan baik oleh bangsa lain. Bangsa dan kaum terjajah yang dituding oleh Barat tak memiliki 'sense of the art' serta tak mampu berprestasi.

"Never say goodbye.... Never say goodbye...."

Batavia, 3 Syaban 1443 H/6 Maret 2022M

Dipersembahkan untuk Kiky, Econ, Anton dan Andri (Cyclone Band)

Magista Studio Jakarta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun