Mohon tunggu...
Ari J. Palawi
Ari J. Palawi Mohon Tunggu... Petani Seni dan Akademisi

The Sonic Bridge Between Tradition and Innovation

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bahasa Daerah di Aceh: Krisis dan Jalan Revitalisasi

12 September 2025   22:17 Diperbarui: 13 September 2025   08:59 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Media memiliki peran strategis. Siaran radio lokal, televisi daerah, hingga portal berita komunitas dapat menjadi ruang mendengar kembali bahasa ibu. Kehadirannya di media massa maupun digital akan menggeser status bahasa daerah dari sekadar heritage menjadi bahasa hidup yang berfungsi lintas generasi.

c. Pemberdayaan Komunitas

Revitalisasi bahasa tidak akan berhasil tanpa keterlibatan aktif komunitas penuturnya. Program yang hanya dirancang dari atas sering gagal karena tidak menyentuh rasa memiliki di akar rumput. Sebaliknya, ketika komunitas dilibatkan dalam penyusunan kamus, pengembangan kurikulum, atau festival bahasa, lahir kebanggaan sekaligus tanggung jawab kolektif.

Dukungan pemerintah dalam bentuk dana dan pengakuan memberi sinyal bahwa identitas mereka dihargai. Dari sinilah tumbuh rasa percaya diri yang mendorong generasi muda untuk menghidupkan bahasa ibu, bukan sekadar mempelajarinya sebagai warisan.

d. Inovasi Generasi Muda

Generasi muda adalah jantung dari proses revitalisasi. Tanpa mereka, bahasa hanya bertahan di ruang nostalgia. Karena itu, bahasa daerah harus dibawa masuk ke arena tempat anak muda berinteraksi: media sosial, YouTube, TikTok, podcast, film pendek, hingga aplikasi digital.

Bayangkan podcast komedi dalam bahasa Gayo, kanal YouTube horor berbahasa Aneuk Jamee, atau aplikasi kamus interaktif Aceh—Singkil buatan pelajar SMK. Semua ini bukan hanya hiburan, melainkan jembatan antara tradisi dan dunia digital. Dengan kreativitas generasi muda, bahasa ibu bisa kembali hidup—bukan sebagai beban masa lalu, melainkan energi masa depan.

Bahasa sebagai Rumah dan Masa Depan

Bahasa ibu bukan sekadar rangkaian kata untuk berkomunikasi. Ia adalah rumah tempat identitas berdiam, wadah bagi nilai dan ingatan, serta ruang batin di mana manusia merasa paling akrab dengan dirinya sendiri. Saat bahasa ibu hilang, yang punah bukan hanya kosakata, melainkan juga cara kita mencintai tanah ini, cara kita menuturkan kasih sayang, cara kita memahami sejarah, bahkan cara kita menyebut Tuhan. Hilangnya bahasa berarti hilangnya rumah yang tak tergantikan.

Karena itu, revitalisasi bahasa daerah di Aceh bukanlah nostalgia atau romantisme masa lalu, melainkan investasi peradaban. Menjaga bahasa ibu berarti menjaga nyala budaya agar tetap hidup, memberi arah bagi generasi yang akan datang. Bayangkan generasi Aceh yang fasih berbahasa global, namun tetap berpikir, merasa, dan bermimpi dalam bahasa ibunya sendiri. Generasi semacam ini akan tumbuh sebagai kosmopolitan yang berakar; modern tanpa kehilangan jati diri.

Masa depan Aceh tidak hanya ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi, kekuatan politik, atau stabilitas keamanan. Semua itu rapuh jika tidak ditopang identitas yang kokoh. Pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah: apakah bahasa ibu akan tetap hidup di bibir anak-anak Aceh, atau hanya tersisa sebagai artefak museum?

Pilihan ada di tangan kita hari ini. Apakah kita membiarkan bahasa daerah perlahan menghilang dalam diam, atau menjadikannya fondasi untuk menapaki masa depan dengan percaya diri? Pada akhirnya, bahasa bukan sekadar alat bicara—ia adalah cermin siapa kita, akar tempat kita berpijak, dan rumah tempat kita selalu kembali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun